Kampanye di Sekolah Ancam Keberagaman di Institusi Pendidikan

  • Karlina Amkas

Pejalan kaki melewati spanduk kampanye Pemilu 2019 di Jakarta.(Foto: AFP/Bay Ismoyo) Mahkamah Konstitusi baru-baru ini mengeluarkan keputusan yang membolehkan peserta pemilu berkampanye di institusi pendidikan.

Mahkamah Konstitusi baru-baru ini mengeluarkan keputusan yang membolehkan peserta pemilu berkampanye di institusi pendidikan. Pengamat demokrasi dan praktisi pendidikan khawatir kampanye bersifat korosif bagi keberagaman yang diusung oleh sekolah.

Izin berkampanye pemilu di institusi pendidikan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menuai pro kontra. Padahal, ini bukan isu baru, kata Neni Nur Hayati. Isu ini selalu muncul dari pemilu ke pemilu.

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia ini bisa menerima kalau kampanye dilakukan mulai tingkat SMU untuk siswa mulai kelas 11 atau kelas 2 SMA, tetapi tidak pada tingkat di bawah itu.

Itu pun, Neni mengingatkan, “Bagaimana SOP (standard operational procedure) dan lain-lainnya, KPU harus mengatur secara detail berkaitan dengan hal itu.”

Ikatan Guru Indonesia (IGI) dengan keanggotaan yang luas juga membahas izin MK ini. Mereka menyimpulkan bahwa efek berkampanye di sekolah akan sangat negatif. Kekhawatiran pada anak didik, terutama yang belum mempunyai hak pilih, membuat mereka berketetapan bahwa sekolah perlu dilindungi dari politik praktis. Bagi yang sudah punya hak pilih, kata ketua IGI Danang Hidayatullah, kampanye bisa dilakukan tetapi tidak di sekolah.

Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Danang Hidayatullah (paling kanan) bersama delegasi IGI ke Heavenly Culture, World Peace, Restoration of Light (HWPL) 2023 di Korea Selatan.

“Logika saya sederhana saja. Ada berapa banyak calon legislatif yang akan berebut masuk ke sekolah-sekolah. Itu saja sudah sangat rawan. Yang kedua, kalau pun masuk, itu membahayakan. Akan terbangun relasi kuasa,” ujar Danang.

Neni, penulis buku ‘Jalan Berliku Demokrasi Indonesia’, setuju, kampanye di sekolah memang rentan. Apalagi, dinamika pemilu sangat cepat dan sarat akan kepentingan.

“Sekolah berpotensi terseret ke lingkaran politik praktis dan tidak bisa memegang sikap netral. Ini yang menurut saya, it’s very dangerous,” tukasnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Kampanye di Sekolah Ancam Keberagaman Institusi Pendidikan

Danang menegaskan, IGI tidak menutup demokrasi di sekolah. Tetapi, ia percaya, masyarakat belum siap bila kampanye digelar di sekolah.

“Di sekolah itu, kan multikultur ya. Terbuka, terus juga beda suku, agama, termasuk beda pilihan politik. Kalau tiba-tiba sekolah itu menjadi tempat kampanye, bisa saja terjadi, bisa diplot oleh satu dua partai atau mungkin caleg-caleg tertentu yang punya pesan tersendiri ke pihak sekolah: ‘Ini kalau bisa jangan ada yang masuk selain saya,’ misalnya. Itu bisa dan sangat mungkin terjadi,” kata Danang.

Di luar itu, kata Danang, sekolah berisiko dicap berafiliasi dengan partai tertentu kalau kebetulan hanya partai itu yang datang dan tidak tersentuh partai lain. Imbasnya, ketika penerimaan murid baru, orang tua akan ingat bahwa sekolah ini pendukung calon tertentu atau beralifiasi dengan partai tertentu.

BACA JUGA: KPAI Sesalkan Putusan MK yang Izinkan Kampanye di Sekolah

Faktanya, kata Neni, ketika berkampanye, calon atau partai umumnya akan memberikan sesuatu, mulai dari stiker sampai uang.

“Ya, kalau misalnya caleg enggak bisa bawa apa-apa, kandidat enggak bawa duit, enggak bisa memberikan sesuatu yang bisa dinikmati oleh masyarakat pada hari itu, itu akan dianggap ya kere-lah, enggak bisa bawa apa-apalah. Kemudian, ngapain? Memangnya kita mau makan program? Memangnya kita mau makan politik gagasan? Kan istilahnya seperti itu. Politik gagasan itu enggak laku dalam masyarakat kita,” tandasnya.

Direktur Democracy and Electoral Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati ketika menjadi pembicara di KPU Bandung. (dok. pribadi)

Berdasarkan hasil penelitian DEEP Indonesia, Neni mengatakan, pemilih Indonesia sudah masuk kategori moral hazard pemilih.

“Tahu politik uang enggak boleh. Tahu politik uang, salah. Lalu, mengambil materi dari pasangan calon yang ketika dikonversi nilainya, dalam pemilu 2024, 100 ribu (rupiah) juga sudah masuk kategori politik uang, tetapi mereka masih mau terima. Nah, saya khawatir ini justru akan mengganggu ketenteraman ketika itu terjadi di sekolah,” tambahnya.

Pelajar SMU yang memenuhi syarat usia untuk memilih, antusias mengikuti pemilu. Tetapi, mereka belum bisa menerima kalau sekolah menjadi ajang kampanye. Keprihatinan mereka adalah gangguan pada proses belajar, sesuatu yang juga disampaikan ketua IGI Danang Hidayatullah.

Ricky Moris, ketua OSIS SMA Bina Nusantara Bekasi (dok. pribadi).

Pengajaran real time politics, menurut ketua OSIS SMA Bina Nusantara Bekasi, Ricky Moris, tidak apa-apa untuk siswa tingkat senior.

Tetapi sebelum tingkat itu, “Kalau bisa sih jangan dulu. Apalagi untuk sekolah-sekolah umum yang punya jenjang tingkat pendidikan dari SD, TK, SMP. Kalau misalnya unsur-unsur politik masuk ke dalam jenjang-jenjang masih junior gitu, belum cocok ya,” cetusnya.

Kini terpulang pada KPU untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh, bila kampanye dilakukan di institusi pendidikan. Sampai SOP tersebut ada, baik Neni maupun Danang setuju pada apa yang disampaikan Ricky, “kalau bisa, jangan dulu” ada kampanye di sekolah. [ka/uh]