Berbeda dengan lembaga-lembaga kursus bahasa pada umumnya, Kampung Mandarin mengajarkan bahasa negara Tirai Bambu itu secara intensif, tidak hanya di dalam kelas, tapi juga di luar kelas, baik secara langsung atau tidak langsung. Para siswanya bahkan diajak lebih jauh mengenal kebudayaan China.
Bahasa Mandarin terdengar di Kampung Mandarin Papar di Kediri, Jawa Timur, hampir setiap saat. Para siswa di sana memang dianjurkan menggunakannya kapan saja, karena para pengajarnya berprinsip practice makes perfect, yang artinya semakin sering mempraktikkannya, siswa akan semakin menguasai bahasa itu.
Sirojul Majid, yang akrab dipanggil Rojul, adalah direktur, pendiri dan sekaligus pengajar di sana. “Di sini kan belajar (bahasa Mandarin) dari Senin sampai Sabtu. Pagi, siang, sore dan malam. Empat kali belajar dalam sehari, jadi lebih intensif. Sementara di lembaga-lembaga lain, mungkin cuma satu atau dua kali seminggu. Padahal kan, untuk menguasai bahasa Mandarin perlu belajar selama bertahun-tahun,” katanya.
Lulusan tahun 2016 Universitas Negeri Semarang jurusan pendidikan bahasa Mandarin ini membuka Kampung Mandarin Papar pada tahun 2017, dan hingga saat ini sudah lebih dari 500 orang yang menjadi lulusannya.
Menurut Rojul, lebih dari 100 lulusan Kampung Mandarin kini bekerja di perusahaan-perusahaan China yang unit usaha mereka ada di Indonesia. Dan bahkan, 10 lulusannya, kini melanjutkan pendidikan tinggi di negeri asal bahasa itu. China.
“Kebanyakan siswa kami adalah orang-orang yang ingin bekerja di perusahaan China. Di Indonesia kan ada tambang nikel, tambang batubara, sementara yang punya fasilitas pengolahannya atau smelter adalah perusahaan-perusahaan China,” katanya.
Pernyataan Rojul dibenarkan Rofi’ Zakariya, direktur sekaligus pendiri Kampung Mandarin Pare, yang menjadi saingan dekat Kampung Mandarin Papar, karena sama-sama berada di Kabupaten Kediri. Namun ia mengatakan, banyak siswanya juga mengincar kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di China dan Taiwan.
“
Dari lebih 8.000 lulusan yang pernah mengenyam pendidikan bahasa Mandarin di pusat pembelajaran Pare, kata Rofi’, sekitar 2.000 di antara mereka bekerja di perusahaan yang berafiliasi dengan China, baik di Indonesia maupun di luar negeri, sementara itu sedikitnya 100 lainnya melanjutkan pendidikan tinggi di China dan Taiwan.
Menurut Rojul, banyak orang Indonesia tertarik bekerja di perusahaan-perusahaan China, karena gajinya lebih tinggi. “Bila pandai berbahasa Mandarin, gajinya bahkan bisa tiga kali lipat UMR (upah minimum rata-rata) yang berlaku di Indonesia,” katanya.
Marsyaf Apriyano adalah salah satu lulusan Kampung Mandarin yang bekerja di perusahaan China. Akrab dipanggil Wadi, pria ini bekerja sebagai penerjemah di PT Karunia Permai Sentosa, salah satu unit Harita Nickel di Pulau Obi, Maluku Utara. Harita Nickel adalah perusahaan nikel terintegrasi terbesar di Indonesia.
Bekerja di perusahaan China memang cita-cita Wadi. Cita-cita itu pula yang membuat pria asal Sulawesi lulusan sekolah menengah atas (SMA) itu belajar bahasa Mandarin di Papar, Kediri, Jawa Timur. Apalagi, menurut informasi yang diperolehnya, perusahaan-perusahaan China membutuhkan banyak penerjemah, dan mereka pada umumnya tidak mensyaratkan strata-1 (S-1) sebagai syarat minimal pendidikan.
“Perusahaan-perusahaan China itu lagi butuh banget translator. Skill bahasa Mandarin itu sangat dibutuhkan. Sementara banyak perusahaan umumnya mensyaratkan S-1, perusahaan China hanya mensyaratkan SMA,” ungkap Wadi.
Wadi belajar selama lima bulan di Kampung Mandarin Papar pada tahun 2023. Pria yang mengaku dulunya sama sekali tidak mengenal bahasa Mandarin, mengaku cukup fasih berbahasa tersebut ketika diterima kerja sebagai translator di perusahaan itu pada tahun 2024
Bagi Wadi, Kampung Mandarin Papar adalah jalan pintas menuju dunia kerja. Ia mengaku hanya membayar Rp1,8 juta per bulan untuk belajar di sana. Biaya itu sudah mencakup tempat tinggal (asrama), makan tiga kali sehari, fasilitas wifi, buku pelajaran dan kaus seragam. Ia belajar menulis, membaca, dan berbicara bahasa Mandarin setiap harinya.
Rojul mengatakan Kampung Mandarin Papar memiliki tujuh kamar di asramanya. Masing-masing kamar bisa menampung maksimal hingga lima orang. Setiap penghuni asrama umumnya dikenai biaya Rp1.350.000 per bulan.
Pusat pembelajaran bahasa itu tidak mewajibkan siswanya untuk mengikuti secara penuh program yang ditawarkannya. Lama belajar di Kampung Mandarin Papar bervariasi dari satu bulan hingga 1,5 tahun. Kampung Mandarin Papar yang sekitar 80 persen siswanya perempuan, bahkan juga menawarkan kelas daring, yang biasanya berlangsung satu kali sehari selama satu jam, dari hari Senin hingga hari Sabtu.
“Kalau sekadar ingin tahu cukup satu bulan, sementara bila ingin mahir biasanya lebih dari enam bulan,” kata Roju.
Secara ukuran, Kampung Mandarin Papar sebetulnya jauh lebih kecil daripada Kampung Mandarin Pare. Pusat pembelajaran di Pare ini menempati sekitar 50 persen sebuah kompleks perumahan atau sekitar 30 unit rumah. Unit-unit rumah itu dijadikan asrama-asrama yang masing-masing bisa dihuni hingga 10 orang.
Fakta ini tidak mengherankan, mengingat Kampung Mandarin Pare adalah perluasan dari SOS Course and Training, pusat pembelajaran bahasa Inggris, Mandarin, Korea, Jepang dan Jerman di Pare, Kediri, Jawa Timur yang berdiri sejak 2013. Sementara itu Kampung Mandarin Pare baru diresmikan sebagai unit tersendiri pada 2018.
Rofi’ mengatakan pesatnya perkembangan pusat pembelajaran yang dipimpinnya karena koneksinya yang luas. Kampung Mandarin Pare, akunya, menjalin kerja sama dengan banyak perusahaan tambang China dan agensi-agensi pendidikan tinggi di China dan Taiwan. Kampung Mandarin yang satu ini juga lumayan sering dikunjungi native speaker (penutur asli) yang tak sungkan berbagi pengetahuan, seperti mahasiswa China yang melakukan penelitian di Indonesia atau warga negara China yang sedang bekerja di Indonesia.
Kampung Mandarin Pare juga memiliki lebih banyak guru. Delapan belas orang tercatat sebagai pengajar offline, sementara 12 lainnya pengajar online.
Menurut pengakuan Rofi’, sekitar 70 persen siswa luringnya berasal dari Sulawesi, dan sisanya dari berbagai penjuru Indonesia. Sementara untuk siswa daring, katanya, tidak hanya berasal dari berbagai penjuru Indonesia, tapi juga dari luar negeri.
“Kami tidak hanya punya murid dari Indonesia. Ada juga orang-orang Indonesia yang berada di China dan Taiwan mengambil kelas online di sini. Ada juga yang dari Malaysia dan Thailand selatan,” katanya.
Khusus, untuk versi luring – yang artinya tinggal di asrama – ada enam pembagian kelas, yakni dasar (basic); HSK 1 hingga HSK 4 dan translator. Untuk bisa menempuh semua kelas itu, hingga akhirnya layak dianggap menjadi translator, hanya dibutuhkan waktu selama lebih kurang enam bulan.
Seperti halnya Kampung Mandarin Papar, Kampung Mandarin Pare menawarkan biaya pembelajaran yang relatif terjangkau. Untuk program lengkap, atau enam bulan, setiap siswa dikenakan biaya total Rp12 juta, sudah termasuk asrama, tapi tanpa makan.
Di kedua Kampung Mandarin itu, para siswa sebetulnya tidak hanya belajar bahasa Mandarin secara intensif, namun juga mengenal lebih jauh kebudayaan China. Di Papar, contohnya, para siswa diajak mengenal seni kaligrafi China, dan secara rutin menonton pidato atau film berbahasa Mandarin. Di Pare, para siswa belajar membuat lampion China dan setiap akhir pekan ada kegiatan masak-memasak khas China.
Baik Rojul maupun Rofi’ meyakini, mempelajari bahasa Mandarin akan lebih mudah bila juga mempelajari budayanya.
Rofi’s mengatakan, “Jadi belajar skill itu butuh pembiasaan. Di asrama ini, itulah cara kita membiasakan murid-murid untuk berbahasa Mandarin dan mengenal budayanya. Biar lebih cepat menguasainya.”
Kesuksesan Kampung Mandarin Papar dan Kampung Mandarin Pare mendorong lahirnya pusat-pusat pembelajaran serupa. Mereka bahkan menyandang nama yang sama, yakni Kampung Mandarin. VOA mencatat, saat ini masing-masing ada satu tempat pembelajaran serupa di Tulungagung dan Banyuwangi. [ab/uh]