Dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (28/12), Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan pada tahun 2015 ada 82 kasus terorisme di Indonesia, termasuk rencana serangan teror yang digagalkan dan terduga terorisnya ditangkap. Sementara tahun ini, ada 170 kasus terorisme, termasuk yang digagalkan.
Tito menambahkan terduga teroris tewas tahun lalu berjumlah tujuh orang dan tahun ini naik menjadi 33 orang. Tito menekankan polisi tidak segan-segan mengambil tindakan mematikan bila terduga teroris mengancam nyawa aparat atau masyarakat.
Tito menilai kasus terorisme di Indonesia tahun lalu relatif rendah karena strategi ISIS ketika itu adalah memperkuat basis di Suriah baru kemudian secara perlahan-lahan melakukan ekspansi.
"Namun tahun 2016 ini semua negara besar, Rusia dan Barat, menekan ISIS sehingga mereka nggak bisa bergerak. Daerah mereka makin mengecil, dibombardir. Akibatnya yang mereka lakukan untuk mengalihkan perhatian, jaringan di luar negerinya disuruh aktif bergerak," kata Kapolri Jenderal Tito.
"Makanya terjadi serangan di Eropa, Prancis, Istanbul, Afrika, Pakistan, termasuk Indonesia. Tidak heran Indonesia pun meningkat karena instruksi dari ISIS pusat, semua dimainkan agar perhatian ke seluruh dunia. Tidak hanya di situ," lanjutnya.
Menurut Tito, berdasarkan informasi dari Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Brigadir Jenderal Edi Hartono, lebih dari 600 warga Indonesia ikut bertempur di Suriah. Dari jumlah tersebut, ada yang sudah meninggal dan ada yang sudah kembali.
Aparat keamanan telah bekerjasama dengan mitra-mitra di Malaysia, Singapura dan Turki untuk menggagalkan warga Indonesia yang ingin berjihad di Suriah. Kerjasama itu mencakup saling bagi informasi, melakukan operasi penangkapan, dan deportasi.
Setelah dideportasi, jika ditemukan unsur pidana maka calon jihadis itu akan diadili dengan kasus pidana. Tito menggaris bawahi bahwa pada prinsipnya ada dua kelompok teroris besar di Suriah yang kerap menarik minat warga Indonesia, yaitu ISIS dan Jabhat Al Nusra, yang merupakan cabang Al Qaeda.
"Di Indonesia juga ada perpecahan. Sebagian mendukung ISIS, seperti JAD (Jammah Ansarud Daulah), dan sebagian mendukung Jabhat Nusrah, terutama dari kelompok-kelompok eks Jamaah Islamiyah yang pro Al-Qaidah," lanjut Tito.
"Tapi yang banyak berangkat ke sana sebagian besar adalah dari jaringan JAD yang mendukung ISIS. Sebagian kecil lainnya dari kelompok eks JI (Jamaah Islamiyah) yang mendukung Jabhat Nusrah," imbuhnya.
Dalam kasus terakhir, aparat keamanan Turki menangkap tiga warga negara Indonesia di provinsi Hatay yang berbatasan dengan Suriah. Ketiga orang itu adalah Tomi Gunawan (18 tahun) dari Pekanbaru, Jang Johana (25 tahun) dari Bandung Barat, dan Irfan (21 tahun) asal Jakarta.
Ketiganya ditangkap karena diduga hendak menyusup ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok pemberontak. Pemerintah Turki telah mendeportasi ketiga warga Indonesia itu, Sabtu pekan lalu (24/12). Begitu mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, mereka digiring ke Markas Korps Brigade Mobil di Kelapa Dua, Depok, untuk menjalani pemeriksaan.
Anggota tim ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto mengatakan pemerintah terus berusaha mencegah semakin banyaknya warga negara Indonesia yang bergabung dalam kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Upaya itu mencakup deteksi dini, pendekatan pada ulama hingga pencabutan kewarganegaraan. Wawan menambahkan banyaknya mahasiswa dan alumni perguruan tinggi yang terlibat dalam jaringan kelompok terorisme ini menunjukkan bahwa kajian ilmu agama mereka masih kurang mendalam dan belum menjadi benteng dari penyebaran ideologi kelompok radikal.
Your browser doesn’t support HTML5
Untuk itu BNPT, ujar Wawan, terus berkeliling ke seluruh Indonesia dengan memperkenalkan masyarakat dengan para ulama dan petugas keamanan, bahkan mereka yang didatangkan langsung dari Timur Tengah. Mereka diminta menjelaskan dasar-dasar mengenai konsep jihad yang benar dan kondisi sesungguhnya di kawasan itu.
Ditambahkannya, BNPT juga melakukan deteksi dini agar dapat mencegah warga negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS. "Upaya deteksi dini supaya mereka-mereka tidak keluar tetapi karena mereka masih orang bebas artinya bukan terlibat pada pidana tertentu maka tidak semua orang bisa dicekal. Orang yang dekat yang sekelilingnya itu (keluarga pelaku teror) tetap di dekat supaya kalau ada dorongan untuk berangkat di sana bisa dicegah," imbuh Wawan. [fw/em]