Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Siti Mazuma mengatakan mengatakan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mempidanakan korban pelecehan dan kekerasan seksual Baiq Nuril Maknun karena dinilai melanggar UU ITE ditengarai akan berdampak luas, khususnya bagi perempuan korban pecehan seksual lainnya untuk melapor kepada pihak yang berwajib. Pasalnya, para korban takut bernasib sama seperti Baiq Nuril, yaitu divonis bersalah dan dipenjara.
Dalam media briefing yang bertajuk “Koalisi Perempuan untuk Keadilan Nuril” di Bakoel Koffie Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11) Zuma menjelaskan, dalam kasus Baiq Nuril ini terdapat relasi kuasa di mana tidak ada sama sekali yang berani membela Baiq Nuril di lingkungan internal sekolah, karena pelaku pelecehan seksual merupakan Kepala Sekolah di SMAN 7 Mataram, sehingga Baiq Nuril pun menjadi korban yang dikriminalisasi.
“Kasus-kasus kriminalisasi terhadap perempuan ini tidak hanya terjadi sekali, bahwa kami sendiri di tahun 2017 juga menangani kasus yang sama. Tapi kenapa aparat penegak hukum kita secara perspektif banyak sekali bermasalah di situ, korban-korban yang merasa ketakutan ketika dia menjadi korban pelecehan seksual yang buktinya hanya bisa di akses lewat smartphone dia. Dia menjadi ketakutan untuk melaporkan tindakan yang terjadi pada dia, karena khawatir apa yang di alami Ibu Nuril, kemudian akan menimpa dia," kata Zuma.
"Itu kenapa kasus Ibu Nuril kita tangani secara bersama-sama, advokasi bareng-bareng karena kalau kita diam saja terhadap kasus Ibu Nuril ini ,akan berdampak buruk terhadap perempuan korban pelecehan dan kekerasan seksual lain, yang khawatir akan mengalami nasib yang sama,” lanjutnya.
BACA JUGA: Baiq Nuril Imbau Perempuan Korban Pelecehan Seksual Berani untuk BersuaraDPR Diminta Segera Loloskan UU Penghapusan Kekerasan Seksual
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia DKI Jakarta Mieke Verawati mengatakan, akan terus mendukung dan mendampingi Nuril supaya kuat melanjutkan kasus ini sampai mendapatkan keputusan yang seadil-adilnya. Menurutnya, kasus Nurill juga menjadi pembuktian bahwa UU ITE ini masih menyimpan banyak masalah yang kompleks bagi korban yang terjerat UU tersebut.
"Dan juga proses korban yang di kriminalisasikan dalam hal ini korban kekerasan seksual perlu mendapat pendampingan secara psikologi yang bisa menguatkan sehingga proses mencapai keadilan ini menjadi efektif, karena mungkin selama ini konsentrasi pada kasusnya. Tapi lupa bahwa sebenarnya pendekatan berupa peguatan psikis baik personal maupun kerabat yang terkait Nuril dan juga lingkungan sosialnya juga perlu mendapat perhatian, agar kekerasan seksual ini tidak dianggap sebagai kekerasan sepele yang juga bukan kekerasan yang tidak bisa dihukum, tetapi kita juga perlu menguatkan," jelas Mieke Verawati.
Mieke juga mendesak DPR agar segera meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar semakin banyak korban perkosaan mendapatkan keadilan dan tidak kembali mengalami korban berulang. Selain itu pemerintah dinilai perlu juga mengimplementasikan Peraturan MA atau PERMA No.3/2017 tentang memeriksa perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, agar perspektif bias gender di aparat penegak hukum dapat diperbaiki kedepannya.
MaPPI FHUI : Presiden Sedianya Berikan Amnesti, Bukan Grasi
Sementara itu, Ketua harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana mengatakan pemberian amnesti dari Presiden Joko Widodo untuk kasus Baiq Nuril ini dirasa tepat, dan tidak mengandung unsur intervensi hukum sama sekali.
Namun sebaliknya, pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan bahwa Nuril bisa mengajukan grasi kepadanya dapat dianggap menyalahi UU, karena grasi sendiri diperuntukan bagi orang yang dihukum di atas dua tahun penjara, sementara Nuril divonis enam bulan penjara.
“Presiden kemarin bilang bisa grasi, nah ini saya tekankan ketika Presiden bilang ada grasi, dia harus baca UU-nya dulu dimana grasi tidak boleh untuk perkara yang hukumannya di bawah dua tahun sedangkan Baiq Nuril hukumannya enam bulan. Jadi tidak bisa Presiden bilang ada kewenangan grasi. Justru ketika Presiden bisa melakukan grasi berarti dia melakukan suatu penyimpangan hukum,” kata Dio.
Menurutnya, di dalam UU tersebut dikatakan tidak mengatur pembatasan amnesti untuk perkara tententu, sehingga amnesti pun bisa diberikan untuk perkara apapun termasuk untuk kasus Baiq Nuril. [gi/em]