Para pengunjuk rasa di Istanbul memegang gambar perempuan yang dibunuh. Kebanyakan dari mereka dibunuh oleh pacar dan atau suami mereka.
Gerakan "Kami Akan Hentikan Pembunuhan Terhadap Perempuan" atau “We Will Stop Femicide” ini berada di garis depan protes dan tindakan lainnya untuk mengedepankan isu pembunuhan terhadap perempuan ini ke dalam agenda politik.
Namun kini, kelompok itu harus berjuang untuk mempertahankan keberadaannya, karena dituduh merusak nilai-nilai keluarga dan moralitas oleh pemerintah Turki berdasarkan hukum perdata. Pengunjuk rasa yang tidak ingin disebutkan namanya, menjelaskan mengapa ia ikut serta dalam unjuk rasa baru-baru ini.
“Saya sangat marah, saya juga amat sedih. Saya pikir itu sebuah tindakan yang tidak adil terhadap kami para perempuan. Kami berjuang melawan kejahatan, dan pemerintah tidak mendukung kami, maka kami sangat kecewa," kata seorang pengunjuk rasa.
Kelompok itu mendapat pujian di Turki dan di luar negeri atas kampanyenya yang bertujuan mempermalukan pihak berwenang, atas apa yang oleh para aktivis dikatakan sebagai kegagalan pemerintah untuk melindungi perempuan. Gerakan ini juga memberi bantuan hukum kepada keluarga korban yang memperjuangkan keadilan untuk kerabat mereka secara hukum.
Namun sebuah kasus pengadilan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum mengancam akan menutup kelompok itu.
BACA JUGA: Sekjen PBB: Tekanan Akibat Virus Corona Picu KDRT di Seluruh Dunia“Ini sangat menakut-nakuti. Kami tidak bicara tentang apa yang akan terjadi jika gerakan kami ditutup, kami melanjutkan perjuangan kami untuk mencegah agar gerakan ini tidak ditutup. Tetapi upaya untuk menutupnya adalah bagian dari penindasan, kejahatan, dan kebijakan memecah belah terhadap organisasi publik yang demokratis dan perjuangan untuk hak-hak perempuan," kata Fidan Ataselim, sekretaris jenderal gerakan itu.
Sebagian pengamat melihat kasus ini sebagai upaya Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan untuk memperkuat basis pemilih konservatifnya, tuduhan yang dibantah pemerintah. Erdogan menarik Turki dari Konvensi Istanbul, perjanjian internasional pertama yang difokuskan pada perlindungan perempuan dari kekerasan, dengan mengklaim konvensi itu merusak nilai-nilai keluarga.
Laporan hak asasi manusia tahunan Departemen Luar Negeri AS tahun ini mengutip catatan buruk Turki tentang kekerasan terhadap perempuan. Dan kelompok HAM mengecam tindakan Turki terhadap gerakan tersebut. Emma Sinclair Webb dari Badan Pengawas HAM mengatakan:“Gerakan ini sangat berhasil dalam meningkatkan kesadaran publik tentang masalah ini, ke bagian yang sangat luas dari masyarakat di berbagai negara, dan upaya untuk menutup gerakan itu tampak seperti pembalasan terhadap keberhasilan mereka sebagai organisasi yang mengkampanyekan perjuangan perempuan.”
Kerabat-kerabat perempuan yang terbunuh termasuk di antara pendukung terkuat gerakan itu, dan berjanji untuk mendukung kelompok tersebut.
Di antara mereka adalah Nihat Palankeen, yang putrinya dibunuh.
“We Will Stop Femicides adalah organisasi kami. Ketika mereka menarget gerakan ini, itu berarti mereka menargetkan kami. Berarti mereka menggores luka kami sekali lagi," katanya.
Pada akhir unjuk rasa itu, nama para korban dibacakan. Protes berikutnya hampir pasti akan memasukkan nama-nama baru dalam daftar suram itu.
Jika pemerintah berupaya menutup gerakan itu, maka mungkin tidak ada gerakan "We Will Stop Femicide" yang bisa menuntut keadilan bagi perempuan yang dibunuh. [ps/jm]