Dalam laporan tahunan mengenai kebebasan beragama di berbagai negara di dunia, Departemen Luar Negeri Amerika menyatakan, di Indonesia masih terjadi kasus-kasus pelanggaran, baik pada tataran masyarakat maupun pemerintah.
Mengutip laporan berbagai kelompok keagamaan dan LSM, laporan itu bahkan menyatakan bahwa para pejabat pemerintah dan polisi dalam beberapa kasus “gagal” mencegah “kelompok-kelompok intoleran” melanggar kebebasan beragama kelompok-kelompok minoritas dan melakukan aksi-aksi intimidasi, seperti pengrusakan dan penghancuran rumah ibadah.
BACA JUGA: Laporan Tahunan Kebebasan Beragama Dinilai BerlebihanSETARA Institute juga melaporkan masih terjadinya kasus-kasus intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), walaupun jumlahnya berkurang dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut LSM berbasis di Jakarta yang melakukan riset tentang demokrasi, kebebasan politik dan HAM itu, jika dilihat dalam 12 tahun terakhir, jumlah pelanggaran KBB memang masih naik turun, dengan total 2.400 peristiwa pelanggaran. Namun, lembaga studi itu melaporkan bahwa jumlah pelanggaran menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, dari 270 kasus pada 2016 menjadi 202 pada tahun 2018.
Peter Suwarno, Ph.D. adalah seorang guru besar di Arizona State University, yang juga seorang pengamat dan peneliti tentang kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Kepada VOA, Profesor Suwarno mengakui masih adanya keprihatinan terkait kasus-kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Namun, dia juga menyatakan optimisme bahwa toleransi di Indonesia semakin membaik dibandingkan pada masa lalu, karena peran berbagai pihak baik pada tataran individu maupun kelembagaan serta pemerintah.
“Yang banyak dibicarakan baik oleh pengamat, ahli, media di manapun sekarang ini mengenai Indonesia itu adalah masalah toleransi terutama toleransi etnik dan keagamaan dan yang lebih besar adalah di bidang keagamaan. Jadi, saya kira keributan-keributan yang mengambil tempat public sphere itu adalah masalah toleransi keagamaan dan walaupun itu merupakan keprihatinan, saya kira pemerintahan Presiden Jokowi sudah banyak mengambil langkah-langkah yang mengatasi masalah toleransi walaupun tantangannya masih sangat besar. Ke depan masih akan sering terjadi keributan-keributan yang ada hubungannya dengan toleransi seperti ditulis oleh Sydney Jones (dari Human Rights Watch, Red) yang mengatakan bahwa yang menderita sebetulnya adalah kelompok minoritas. Ada sedikit ketakutan dari kelompok minoritas di Indonesia atas sikap-sikap intoleransi dari kelompok-kelompok tertentu.”
BACA JUGA: Toleransi di Masyarakat Menguat Meski Regulasi Tak BerubahProfesor Suwarno mengatakan adanya ketakutan menjadi korban intoleransi sebagai minoritas itu bukan pendapatnya, tetapi dia mengutip berbagai hasil riset, salah satunya oleh Profesor Martin Van Bruinessen dari Singapura yang menyatakan bahwa di Indonesia terjadi apa yang disebut sebagai religious conservatism terutama Islamic conservatism dalam dua dekade terakhir, yang menyumbang pada intoleransi. Namun, tambahnya, berbagai pihak melakukan langkah-langkah untuk mengatasi hal itu. Pemerintah, misalnya, punya program deradikalisasi. “Pemerintah juga dengan beraninya, misalnya, melarang HTI,” ujarnya.
“Jadi ada seperti discourse contestation antara kelompok pluralis toleran, kemajemukan, dan kelompok yang hardliners. Jadi, jangan dikira bahwa yang menciptakan intoleransi itu kelompok Islam semua di Indonesia. Tidak. Banyak sekali kelompok Islam di Indonesia, mayoritas NU dan Muhammadiyah, misalnya, dan kelompok-kelompok lain yang sebetulnya sangat toleran. Mereka menekankan Bhineka Tunggal Ika dan toleransi. Jadi, kelompok-kelompok tertentu saja yang sangat vokal yang menciptakan situasi intoleran. Banyak contoh. Jadi, kalau saya mengatakan intoleransi di Indonesia itu bukan masalah agama A dan agama B. Bahkan di dalam Islam sendiri ada discourse antara yang moderat liberal yang menginginkan pluralism dan toleransi, dan ada yang hardliners yang sangat intoleran. Itu harus dipahami. Jadi, harus dibedakan karena di Indonesia ada contoh peristiwa-peristiwa, misalnya, pertemuan antara beberapa kelompok agama. Di Salatiga, misalnya, ada kelompok di Desa Getasan yang kalau hari raya Idul Fitri banyak orang Kristen mengunjungi desa Muslim dan bersilaturahmi di sana. Sebaliknya waktu Natal, masyarakat Muslim mendatangi dan bersilaturahmi di tempat orang Kristen. Jadi masih banyak seperti itu.”
Profesor Suwarno menambahkan bahwa seorang temannya, Gus Aan Anshori, di Jawa Timur, misalnya, menjadi koordinator presidium Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) yang mengajak orang-orang muda dari kelompok Muslim untuk mendatangi gereja dan juga memfasilitasi pertemuan antara anak-anak dari sekolah Kristen dengan sekolah-sekolah Islam.
“Jadi expose seperti itu yang mungkin jarang mendapat tempat dalam pemberitaan yang harusnya diekspos juga karena kita sekarang ini, para pengamat sedang menggeluti masalah intoleransinya,” kata Profesor Suwarno.
Pernyataan Profesor Suwarno itu dibenarkan oleh Aan Anshori, salah seorang penggagas dan penggerak Jaringan Islam Anti Diskriminasi. Dia mengatakan sejak tahun 2006, ketika terjadi penurunan toleransi di Indonesia, para aktivis NU di Jawa Timur dari 18 LSM dan pesantren mulai melakukan aliansi untuk gerakan, advokasi dan pendidikan soal toleransi.
Gerakan itu, katanya, merupakan pengejawantahan dari legacy Gus Dur (mendiang presiden RI, KH Abdurrahman Wahid). Dia mengatakan, sebagai pengikut Gus Dur, jaringan itu berusaha merawat, menjaga, dan mengamalkan pemikiran Gus Dur tentang toleransi. Anshori menambahkan, “Gus Dur mungkin secara fisik tidak lagi bersama kita, tapi secara spirit dan juga legasinya akan terus bersama bangsa ini. Legasi itu juga mencakup ajaran bahwa dakwah yang paling baik dengan perbuatan, perilaku.”
“Gus Dur itu meletakkan legasi yang sangat kuat, tidak hanya mencontohkan secara omongan, tetapi ia meletakkan dalam perilaku dan juga framework gerakan. Strategi dakwahnya itu lead by example. Kalau di dalam bahasa kitabnya itu, Imam Gozali dalam Bidayatul Hidayah mengatakan bahwa dakwah dengan perilaku……., dengan memberikan contoh itu jauh lebih tokcer ketimbang dakwah dengan omongan.”
Your browser doesn’t support HTML5
Profesor Suwarno menandaskan bahwa pemerintahan Jokowi harus dibedakan dengan pemerintahan sebelumnya.
Pemerintahan Jokowi harus diakui, walaupun mungkin banyak kekurangan, harus diakui bahwa Jokowi berani pertama kali menggemakan kembali diskursus Pancasila yang sebelumnya tenggelam. Jadi dia pertama mengatakan pada awal jadi presiden periode pertama itu, retorikanya adalah ‘Aku Indonesia, Aku Pancasila’ dan maknanya adalah bahwa jangan lupa Pancasila adalah dasar negara dan sudah disetujui, dan dalam Pancasila itu pluralitas, ada toleransi, karena kita berdasarkan pada motto Bhinneka Tunggal Ika.”
Profesor Suwarno mengatakan itu semua merupakan komitmen dan keberanian Jokowi yang menurutnya patut mendapat penghargaan. [lt/ii]