Juru bicara Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana mengatakan toleransi antar umat beragama di masyarakat semakin menguat. Kata dia, hal tersebut terlihat dari perubahan orang-orang yang dahulu menentang Ahmadiyah, kini sudah mulai hidup berdampingan. Ia mencontohkan Ustaz Ahmad Suhadi yang dulu menjadi orator saat penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah pada 2005 di Bogor, kini sudah mau hidup berdampingan dengan Ahmadiyah.
"Mereka-mereka kemudian menyadari bahwa apa yang mereka lakukan dulu karena ketidaktahuan. Kemudian mereka kita undang untuk melihat dari dekat dan ikut dalam berbagai kegiatan. Hadir dan melihat sendiri semacam live in," jelas Yendra Budiana kepada VOA, Senin (15/6).
Yendra memperkirakan setidaknya ada lima tokoh agama di Bogor yang terlibat penyerangan dan kini sudah berubah sikap. Antara lain tokoh agama dari Nahdlatul Ulama, mantan tokoh Front Pembela Islam dan tokoh pengajian warga setempat.
Tidak hanya itu, jemaah Ahmadiyah yang biasanya tidak dilibatkan dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di berbagai daerah, kini mulai dilibatkan di FKUB Jawa Tengah. JAI juga berkolaborasi dengan FKUB Jawa Tengah membuat acara donor darah selama Ramadan dan mudik Lebaran 2020.
"Ini sesuatu yang langkah. Biasanya kami di FKUB tidak pernah diajak, sama sekali. Bukan hanya kegiatan, bahkan untuk rapat saja tidak pernah," tambahnya.
Yendra menambahkan warga Ahmadiyah di Manislor, Kuningan, Jawa Barat yang kesulitan mendapatkan KTP pada 2017, kini juga sudah mulai mudah mendapatkan KTP termasuk buku catatan menikah.
Kendati demikian, Yendra menjelaskan secara regulasi di level nasional dan daerah tidak banyak mengalami perubahan. Semisal Pasal penodaan agama dan pendirian rumah agama yang terkadang mempersulit kelompok agama tertentu.
Pengurus PBNU: Serangan Tahun 2005 Karena Masyarakat Tak Paham
Turut menambahkan Pengurus Cabang Ahmad Nahdlatul Ulama Kabupaten Bogor, Ahmad Suhadi menjelaskan, penyerangan yang dilakukan pada 2005 lalu dipicu karena kurang pahamnya masyarakat. Termasuk penilaian yang menyudutkan kelompok Ahmadiyah dari MUI dan tokoh agama kala itu.
Namun, Suhadi kini memahami bahwa tidak ada agama yang membolehkan kekerasan terhadap sesama manusia. Karena itu, ia terdorong untuk berdialog dengan Ahmadiyah terkait tudingan-tudingan masyarakat ke mereka.
"Kalau melihat ke belakang ada dosa kemanusiaan yang saya lakukan dengan kawan-kawan terhadap teman-teman Ahmadiyah. Bahwasanya di dalam berbeda pemikiran dan mahzab apakah tidak boleh? Boleh, silakan saja. Tuhan sendiri juga mempersilakan makhluknya untuk berbeda-beda, itu yang saya pahami," jelas Suhadi.
Suhadi juga tidak ingin perbedaan agama dan ideologi dapat memicu konflik di masyarakat. Karena itu, kata dia, penting mengkampanyekan toleransi kepada semua umat beragama untuk hidup rukun dan tidak saling mencurigai.
Setara Institute : Pelanggaran Kebebasan Beragama Mulai Berkurang
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan juga membenarkan kasus-kasus pelanggaran terhadap Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Itu juga terlihat dari data Setara Institute soal jumlah peristiwa pelanggaran KBB pada 2016 yang mencapai 270 peristiwa menurun menjadi 202 peristiwa pada 2018.
Kendati demikian, jika dilihat dalam 12 tahun terakhir, jumlah pelanggaran KBB masih naik turun atau fluktuatif dengan total 2.400 peristiwa pelanggaran KBB.
"Akar masalahnya sebenarnya ada dua lapis yaitu negara dan masyarakat. Belakangan yang di masyarakat ada beberapa kemajuan. Taruhlah dialog-dialog yang selama ini buntu mulai terbuka pelan-pelan. Persekusi terhadap Ahmadiyah mulai berkurang," jelas Halili Hasan.
Halili memperkirakan jumlah peristiwa pelanggaran KBB pada tahun 2019 juga akan mengalami penurunan jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Kendati demikian, Halili berharap kasus pelanggaran terhadap KBB tidak hanya dilihat dari jumlah kasus. Menurutnya, pemerintah perlu berkomitmen dalam pemenuhan hak masyarakat untuk beragama dan berkeyakinan dengan menghapus aturan yang diskriminatif seperti aturan pendirian rumah ibadah dan pasal penodaan agama. [sm/em]