Kebutuhan untuk Eksis dan Berkembangnya 'Industri' Selfie

  • Nurhadi Sucahyo

Ajakan selfie dipasang petani di pinggir jalan di kawasan Samas Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

Kita mungkin sering melakukan selfie atau swafoto, lalu memasangnya di halaman media sosial. Bagi sebagian pihak, kegemaran baru ini menjadi bisnis tersendiri, tetapi para pakar memperingatkan bahwa semua itu ada batasnya.

Bagi Lisa Anggraini, siswi sekolah menengah pertama di Yogyakarta, selfie adalah ekspresi diri. Tentu tidak sekedar berfoto, tetapi juga berburu lokasi yang populer di media sosial. Di mana kawan sebayanya berfoto, di sanalah tempat dituju. Ia rela menempuh jarak puluhan kilometer agar tidak ketinggalan gaya atau biasa disebut "kekinian".

Lisa Anggraini, salah seorang pengunjung berselfie di antara bunga matahari di kawasan Samas, Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

Ada banyak tempat di mana remaja seperti Lisa sengaja datang untuk selfie. Salah satunya di perkebunan cabai di kawasan Samas, Bantul, Yogyakarta. Bukan untuk berfoto di samping pohon cabai tentu saja, tetapi di sekeliling bunga matahari yang ada di sekitarnya.

“Awalnya dikasih tahu ayahnya temen, terus cari tempatnya lewat google maps. Begitu sampai sini ya tinggal gantian foto-foto sama temen,” kata Lisa sambil tertawa.

Kepada VOA, Slamet, petani setempat, menyatakan kawasan perkebunan cabai ini populer akhir tahun lalu ketika bunga matahari mekar bersamaan. Para petani menanam bunga itu bukan untuk keindahan kebun, tetapi mengurangi tekanan angin, karena kawasan itu hanya berjarak satu kilometer dari bibir pantai. Anak-anak muda yang ingin berwisata ke laut, melewati kawasan itu dan melihatnya. Mereka berfoto, dan mengunggahnya ke media sosial. Tidak lama berselang, ribuan orang silih berganti datang setiap hari hingga saat ini. Para petani menetapkan tarif Rp.5.000 untuk berfoto sepuasnya di sana.

Kebun bunga yang dibuat khusus untuk keperluan selfie di kawasan Samas, Yogyakarta. (Foto: VOA/Nurhadi)

“Ini kan sama sekali tidak sengaja. Fungsi awalnya adalah tanaman pendamping sekaligus penangkal alami hama. Tetapi pas mereka datang, kok mau membayar lima ribu untuk selfie. Lha, pas dibelakangnya ada tanaman cabai, dan ada juga bunga matahari petani lain, jadi pas di dalam foto kelihatan seperti hamparan kebun bunga matahari berhektar-hektar,” jelas Slamet.

Slamet mengakui, banyak warga akhirnya tergerak menanam bunga matahari, untuk melayani keinginan wisatawan ber-selfie ria itu. Hasilnya lumayan, bahkan bisa melebihi panen cabai.

Safri, warga Samas yang menjaga kebun milik orang tuanya, mengaku setidaknya 50 orang datang ke kebun mereka setiap hari. Jumlahnya akan lebih banyak pada hari libur. Orang tua Safri menanam aneka macam bunga di tanah seluas sekitar 300 meter persegi. Kepada VOA dia mengatakan, tarif berfoto ditetapkan sukarela, sekadar untuk menjaga kebersihan kebun itu. “Ya, awalnya karena bapak saya lihat banyak yang foto-foto di kebun tetangga itu, jadi terus menanam ini untuk selfie,” ujar Safri.

Kebun itu sendiri sebenarnya tidak layak disebut sebagai tempat wisata. Selain karena ukurannya kecil, kawasan kanan-kirinya juga tidak tertata dengan baik. Perlu teknik khusus agar foto yang dihasilkan menggambarkan kawasan luas penuh bunga, tanpa terganggu bangunan dan pohon cabai atau pepaya di sekitarnya. Semua tahu, kebun itu aslinya tidak seindah di foto, tetapi mereka tetap datang dan berbagi foto mereka di media sosial.

Tak Perlu Tampil Palsu

Pamungkas Wahyu Setianto, dosen fotografi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, memandang gejala gemar berfoto ini sebagai masukan positif bagi dunia fotografi. Bagi kalangan tertentu, foto bahkan menjadi faktor penting sehingga mereka tidak segan membawa fotografer dalam berbagai kesempatan. Tidak hanya dalam acara resmi dan besar, bahkan juga untuk sekadar tampil di media sosial.

“Sekarang banyak yang sadar dengan media sosial mereka dan membutuhkan foto bagus. Di sinilah fotografer freelance menjadi laris karena dipekerjakan oleh kelompok orang semacam ini,” kata Pamungkas.

Karena fenomena ini, tambah Pamungkas, banyak produsen telepon pintar bahkan mengedepankan fungsi kamera dibanding fungsi utamanya sebagai alat telekomunikasi. Produsen juga melengkapi telepon pintar mereka dengan fasilitas pengolahan foto, dengan menambahkan proses editing sederhana.

“Tetapi ingat, gunakan fasilitas itu dengan smart. Jangan sampai itu menjadi kebohongan yang, awal niatnya untuk mencari keindahan, tetapi kemudian menjadi bumerang sendiri bagi mereka. Itu merugikan untuk dirinya di kemudian hari, karena yang terjadi orang terkesan dan bilang wah di awal, tetapi kemudian bilang woo karena kecewa melihat aslinya,” kata Pamungkas Wahyu Setiyanto.

Pamungkas menggarisbawahi, tampilan foto di media sosial sebaiknya mewakili realitas pemilik akunnya sendiri. Fasilitas fotografi di telepon pintar untuk selfie ini, sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk membohongi diri sendiri maupun orang lain. Tidak perlu tampil lebih putih, lebih tinggi, lebih ramping maupun lebih cantik atau ganteng dalam foto.

Mulawarman, psikolog sekaligus dosen di Jurusan Bimbingan dan Konseling, Universitas Negeri Semarang, menulis paparan mengenai hal ini dalam Bulletin Psikologi edisi 25 yang diterbitkan oleh Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, beberapa bulan lalu. Menurutnya, dari sudut pandang psikologi sosial, setidaknya ada tiga faktor yang membuat seseorang melakukan selfie. Pertama, sebagai wujud dari eksistensi diri, dimana selfie merupakan upaya representasi diri di media sosial. Semakin banyak yang memberikan tanda suka, maka semakin puas pemilik akunnya.

Faktor kedua, selfie merupakan salah satu bentuk narsisme digital. Foto itu menjadi bentuk pertunjukan di depan panggung untuk menarik kesan pengakses atau pengguna lain dalam jaringan pertemanan di media sosial . Sedangkan yang ketiga, selfie menandakan bahwa pengguna melakukan keterbukaan diri (self-disclosure) di media sosial. Efek selanjutnya dari keterbukaan diri itu adalah interaksi dan komunikasi yang terjadi dengan pengguna lain akan semakin erat.

Namun, pada sisi yang lain, eksistensi yang terlalu besar juga bisa mengganggu hubungan sosial dengan kolega atau kawan. Karena itulah, Mulawarman merekomendasikan agar pengguna media sosial cermat dalam menampilkan diri, antara lain juga untuk kesehatan mental pribadi dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.

“Setiap individu itu menginginkan dirinya eksis, ada. Cuma masalahnya, ketika seseorang terlalu menunjukkan keakuannya, apalagi dalam konteks yang tidak penting, seperti apa-apa diunggah, itu sebenarnya punya dampak secara psikis. Dalam teori yang paling radikal, katakanlah, orang semacam ini bisa dianggap sebagai narsis. Narsisistik itu adalah konsep bahwa kita mencintai diri sendiri tetapi berlebihan. Dalam mental kita menjadi tidak sehat. Ada sesuatu yang hilang sebenarnya,” kata Mulawarman.

Your browser doesn’t support HTML5

Kebutuhan untuk Eksis dan Berkembangnya “Industri” Selfie

Mulawarman mengingatkan, eksistensi diri yang ditandai dengan foto di media sosial memilki batasan. Masyarakat memiliki norma sosial yang bisa dijadikan pedoman, sesering apakah sebaiknya tampil di media sosial dan foto semacam apa saja yang boleh diunggah. Tetap ada batasan untuk aktivitas itu, dan Mulawarman menilai, dalam beberapa segi, masyarakat secara umum saat ini sudah melampaui batas itu.

“Seolah-olah masyarakat kita malah tidak memahami bahwa mereka memiliki privacy. Apa saja diunggah di media sosial, sepertinya ingin semua orang tahu apa saja yang dilakukan. Yang lebih jauh lagi, ada semacam sikap yang penting sensasi dulu, soal dampaknya dipikir belakangan. Ini sebenarnya kurang begitu bagus. Bagaimanapun, kita punya privacy,” kata Mulawarman. [ns/lt]