Kejatuhan Assad Picu Ketidakpastian di Timur Tengah, Harga Minyak Melambung

Truk berisi minyak mentah terlihat di kilang minyak Kenya di Mombasa, pada 7 Juni 2018. (Foto: AFP)

Saudi Aramco, eksportir minyak mentah terbesar di dunia, mengumumkan pada Minggu bahwa pihaknya memangkas harga minyak pengiriman Januari 2025 bagi pembeli Asia ke level terendah sejak awal 2021.

Harga minyak melonjak pada Senin (9/12) menyusul kejatuhan rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad, yang meningkatkan kekhawatiran atas ketidakpastian di Timur Tengah. Namun, lonjakan tersebut tertahan oleh proyeksi penurunan permintaan untuk tahun depan.

Harga minyak mentah Brent berjangka naik 36 sen (0,51 persen) menjadi $71,48 per barel pada pukul 05.13 GMT. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berjangka Amerika naik 38 sen (0,57 persen) menjadi $67,58 per barel.

Pemberontak Suriah menyampaikan melalui televisi pemerintah pada Minggu bahwa mereka berhasil menggulingkan Presiden Bashar al-Assad, menandai berakhirnya dinasti keluarga yang berkuasa selama lima dekade. Kudeta kilat tersebut memicu kekhawatiran akan babak baru ketidakstabilan di kawasan yang telah lama dilanda konflik.

"Perkembangan di Suriah menambah lapisan ketidakpastian politik baru di Timur Tengah, yang memberikan sedikit dukungan bagi pasar," kata Tomomichi Akuta, ekonom senior di Mitsubishi UFJ Research and Consulting.

BACA JUGA: Berbagai Tanggapan Pemimpin Dunia Atas Berakhirnya Kekuasaan Assad di Suriah 

"Penurunan harga di Arab Saudi serta perpanjangan pemangkasan produksi OPEC+ minggu lalu menyoroti lemahnya permintaan dari China, mengindikasikan potensi pelemahan pasar menjelang akhir tahun," ujarnya. Ia menambahkan bahwa investor tengah memantau sinyalemen dampak kebijakan energi dan Timur Tengah Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap kondisi pasar.

Saudi Aramco, eksportir minyak mentah terbesar di dunia, mengumumkan pada Minggu bahwa pihaknya memangkas harga minyak pengiriman Januari 2025 bagi pembeli Asia ke level terendah sejak awal 2021. Diskon tersebut diberikan akibat lemahnya permintaan dari China, importir utama, yang terus membebani pasar.

OPEC+ pada pekan lalu menunda rencana peningkatan produksi minyak selama tiga bulan hingga April, dan memperpanjang penangguhan pemotongan produksi selama satu tahun hingga akhir 2026.

OPEC+, yang bertanggung jawab atas sekitar setengah dari produksi minyak dunia, berencana untuk mulai menghentikan pemotongan produksi mulai Oktober 2024. Namun, tetapi perlambatan permintaan global, terutama dari China, dan peningkatan produksi di tempat lain memaksa organisasi tersebut menunda rencana itu beberapa kali. [ah/rs]