Sebuah laporan yang disusun Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua dan KontraS Papua menunjukkan tren kekerasan tetap tinggi pada tahun 2020. Konsentrasi aparat keamanan dan pendekatan persoalan yang diterapkan diduga menjadi faktor.
Laporan berjudul “Orang Papua Dilarang Bicara” itu disusun berdasar monitoring dan investigasi kasus-kasus kekerasan di Papua, yang melibatkan TNI dan Polri. Kedua lembaga itu memberi perhatian lebih pada empat wilayah konflik, yaitu Kabupaten Intan Jaya, Nduga, Maybrat dan Kota Timika. Menurut Yohanis Mambrasar dari PAHAM Papua, laporan ini tidak terkait konflik bersenjata yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka (OPM) maupun Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TNPB).
“Saya tidak bicara soal kontak tembak atau konflik antara pihak TNI dengan OPM. Saya bicara soal dampaknya terhadap masyarakat sipil. Orang-orang, masyarakat biasa, yang tidak tahu apa-apa tetapi kemudian menjadi korban kekerasan,” kata Yohanis.
PAHAM Papua dan KontraS Papua membagi kasus kekerasan yang dilakukan aparat TNI dan Polri di Papua tahun 2020 dalam tiga motif. Ketiganya adalah motif politik dengan 35 kasus, motif ekonomi tiga kasus dan motif arogansi 25 kasus.
Kekerasan bermotif politik berkaitan dengan kegiatan politik, seperti. pembubaran paksa demonstrasi damai menolak Otonomi Khusus (Otsus) mahasiswa Universitas Cenderawasih pada 28 September 2020 yang disertai penangkapan dan penganiayaan sejumlah mahasiswa.
Contoh lainnya adalah penangkapan 55 orang Papua peserta Rapat Dengar Pendapat (RDP) Majelis Rakyat Papua (MRP) di Kota Merauke pada 17 November 2020 dan penembakan Elias Karungu dan anaknya, Selu Karunggu pada 8 Juli 2020 di Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga.
Kekerasan bermotif ekonomi terkait dengan aktivitas pengamanan proyek investasi. Contohnya adalah penangkapan Pontius Wakom pada 21 April 2020 di Aifat, Maibrat. Kemudian penembakan dua warga Timika, yaitu Eden Armando Babari dan Roni Wandik pada 13 April 2020, dan terbunuhnya warga Boven Digoel, Marius Batera, pada 16 Mei 2020.
Sementara motif arogansi, semata-mata muncul karena sikap aparat keamanan. Contoh kasusnya adalah penganiayaan terhadap tiga warga Sorong Selatan -- Saulus Melkior Wugaje, Dominggus Aifufu, dan Chiko Momot – pada 16 Agustus 2020. Serta kekerasan terhadap empat warga Tambrauw, yaitu Neles Yenjau, Karlos Yeror, Harun Yewen, dan Piter Yenggren, pada 28 Juli 2020.
“Jadi tren kasus ini ikut meningkat, seiring dengan gejolak politik Papua yang beberapa tahun ini semakin meningkat. Jadi ada faktor gerakan politik, yang dikendalikan oleh perlawanan politik kelompok-kelompok yang di hutan dan di masyarakat sipil,” tambah Yohanis.
BACA JUGA: Pemerintah akan Perketat Pengawasan Dana Otsus PapuaRasio Aparat Keamanan Tinggi
Peneliti Papua di Universitas Georgetown, Amerika Serikat, Dr Veronica Kusumaryati, mencoba mengaitkan kondisi yang dilaporkan itu dengan jumlah aparat keamanan di Papua dan Papua Barat. Mengutip pernyataan TNI pada 16 Juli 2019, direncanakan akan ada penambahan 31 Kodim baru di Maluku, Papua dan Papua Barat. Di Papua dan Papua Barat akan dilakukan penambahan sekitar 12 ribu Bintara Pembina Desa (Babinsa), dari 50 ribu yang saat ini sudah ada.
Data polisi menyebut jumlah personel mereka di Papua pada 2019 adalah 11.984 dan di Papua Barat ada 4.300 personel. Kapolda Papua Barat, menurut catatan Kusumaryanti, juga menargetkan penambahan 10 ribu personel pada 2021-2022.
Kusumaryanti kemudian menyandingkan angka itu dengan jumlah penduduk Provinsi Papua, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah 4.338.916. Dengan angka itu, disertai penambahan Babinsa dan personel polisi, maka rasio aparat keamanan dibanding penduduk Papua adalah 14,5 : 1.000.
Your browser doesn’t support HTML5
“Saat ini Papua rasionya sudah 15 aparat per seribu penduduk. Jadi ini adalah konsentrasi aparat keamanan paling tinggi di Indonesia. Dan kalau kita melihat bahwa orang Papua (asli) itu setengahnya, dan kebanyakan polisi atau operasi keamanan ditargetkan ke orang Papua, maka itu bisa dikalikan dua, jadi sekitar 30 aparat per seribu orang Papua,” kata Kusumaryati.
Dia kemudian membandingkan dengan Provinsi Jawa Tengah yang memiliki 34,5 juta penduduk. Provinsi ini memiliki 38 Kodim, 26 ribu anggota TNI dan 35 ribu polisi. Jika dihitung, kata Kusumaryati, hanya ada dua aparat keamanan untuk setiap seribu penduduk di Jawa Tengah.
Perbandingan lain yang menurut Kusumaryati cocok disandingkan adalah dengan Aceh. Pada tahun 2002, dalam status darurat militer, jumlah penduduk Aceh 4,1 juta. Sementara ada 40 ribu anggota TNI dan 14 ribu polisi di sana ketika itu.
“Kalau kita lihat Aceh waktu itu, rasio aparat dengan penduduk ini 13 per seribu penduduk. Jadi kesimpulannya, jumlah aparat per penduduk jauh lebih banyak di Papua, daripada di Aceh ketika darurat militer,” tambahnya.
Kebijakan pemerintah pusat juga berdampak pada jumlah kasus kekerasan. Melihat kasus Aceh, di masa pemerintahan Presiden Habibie tercatat ada 949 korban kekerasan. Sementara di masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, korban turun drastis menjadi 294 orang, dan kemudian naik lagi di masa Presiden Megawati menjadi 662 orang. Kusumaryanti mengatakan, penambahan pasukan non organik berbanding lurus dengan peningkatan jumlah korban.
Otsus dan Pendekatan Keamanan
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, menilai kekerasan yang terjadi tidak lepas dari kebijakan pendekatan keamanan yang diambil. UU Otonomi Khusus Papua nomor 21/2021, pasal 4 ayat 1 jelas menyebutkan bahwa pertahanan dan keamanan langsung dikendalikan pemerintah pusat. Menurut Gobay, ketentuan itu menunjukkan bahwa pemerintah pusat diberikan legalitas mengatur kebijakan keamanan di Papua.
“Yang kemudian sangat-sangat disayangkan yaitu, yang memiliki kewenangan pengawasan dalam hal ini DPR Papua, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, karena memang Otsus memberikan legitimasi kepada pemerintah pusat untuk melakukan pengedropan (pengerahan aparat keamanan-red),” kata Gobay.
Gobay juga mempertanyakan, apakah pendekatan keamanan dalam bentuk pengerahan aparat keamanan tambahan di Papua, sudah dibicarakan di DPR. Atau, dalam bentuk berbeda, apakah Presiden memiliki dasar hukum yang khusus, seperti Perppu atau Keppres untuk mengatur persoalan ini.
Gobay juga mengingatkan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949. Terlepas dari siapa yang dihadapi aparat keamanan di Papua, TNI dan Polri yang menjadi representasi alat keamanan negara, harus tunduk dan mengimplementasikan prinsip-prinsip dalam konvensi itu.
“Dalam hal ini kemanusiaan. Kan sangat lucu, ketika kita melihat masyarakat sipil menjadi korban, baik itu korban pelanggaran hak hidup maupun pelanggaran lain seperti pengungsian,” ujarnya. [ns/ab]