Peringatan Hari Anak Sedunia di Surabaya, Sabtu (23/11) malam, diisi dengan berbagai tampilan kreativitas anak, termasuk dari kalangan yang terpinggirkan.
Fakta dan data tentang masih banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia, menjadi masalah serius yang harus segera ditangani dan diselesaikan bersama.
BACA JUGA: Aktivis Desak Pengesahan RUU P-KS Demi Kepastian Hukum dan Perlindungan Kelompok RentanPendiri sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (ALIT), Yuliati Umrah mengungkapkan, prostitusi maupun eksploitasi seksual yang melibatkan anak selama ini belum ditangani secara serius oleh pemerintah, terlebih penegakan hukum yang masih belum adil bagi korban. Kondisi seperti ini, kata Yuliati, memunculkan masalah baru bahwa anak yang semula menjadi korban dapat mejadi pelaku.
“Temuan-temuan kami di delapan wilayah di Indonesia, di empat provinsi, bahwa semua anak yang telibat dalam prostitusi baik yang online maupun yang tidak, anak-anak yang terlibat dalam eksploitasi seksual komersial, itu sebelumnya pernah menjadi korban kekerasan seksual. Ketika proses hukum tidak dilakukan, penegakan hukum tidak dilakukan seadil-adilnya, dan hak anak-anak mendapatkan pemulihan selama menjadi korban, ini kita menyimpan bom waktu. Anak yang sudah menjadi korban bisa menjadi pelaku, di sisi lain kondisi anak-anak yang sudah masuk dalam eksploitasi seksual, sudah mendapat keuntungan, ini sulit keluar, keluarnya sudah dalam kondisi penyakitan, ini yang problem (masalah.red) besar,” jelas Yuliati Umrah.
Upaya pemerintah memajukan bidang pariwisata dengan mendorong sejumlah daerah mengembangkan obyek pariwisata baru, menjadi peluang kemajuan ekonomi suatu daerah. Namun, disisi lain hal ini juga berpotensi memunculkan pariwisata seksual anak di daerah yang belum banyak memahami terkait eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak.
“Belum lagi anak-anak SMK yang harus berpraktek magang di sektor pariwisata, ini tidak ada upaya monitoring yang ketat, pendampingan yang ketat, sehingga kasus anak magang yang niatnya magang bekerja selama setengah tahun, ini malah justru terlibat langsung dalam eksploitasi seksual. Bagaimana negara memagari, mencegah, baik dalam pendidikannya, kemudian pengawasan, kerja sama lintas sektor ini harus dilakukan, ini yang belum terjadi,” kata Yuliati.
Your browser doesn’t support HTML5
Mahasiswi Jurusan Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga Surabaya, Laras Sekar Kinanti mengatakan, anak-anak selama ini menganggap perilaku yang dikenal sebagai pelecehan dan kekerasan seksual, sebagai hal yang biasa. Bersama sejumlah mahasiswa lain, Laras mengajarkan dan mengenalkan bentuk-bentuk kekerasan dan kejahatan seksual yang harus dihindari oleh anak. Pengenalan dan pemahaman sejak dini pada anak, akan menekan terjadinya perilaku kekerasan seksual pada anak.
“Kita mengenalkan yang namanya kejahatan seksual, kekerasan, abuse, bullying, yang selama ini, yang tanpa kita sadari itu ada di lingkungan kita. Dan kita juga mengenalkan ke mereka, kepada siapa mereka harus terbuka dan berbicara ketika hal itu terjadi kepada mereka,” ujar Laras Sekar Kinanti.
Koordinator Roemah Bhinneka, Iryanto Susilo menggatakan, upaya mencegah kekerasan dan kejahatan seksual menimpa anak-anak Indonesia harus dilakukan oleh semua elemen masyarakat. Tidak terkecuali para aktivis kebangsaan dan para tokoh serta pemuka agama.
“Karena agama menjadi sangat penting, memegang peranan di Indonesia, itu satu. Kedua, para tokoh agama ini bisa menjadi pesan kuat terhadap anak-anak, bahwa penting untuk mengedepankan anak-anak. Agama ini jangan hanya milik orang dewasa. Kita berkutat pada masalah teologi, akidah, fiqih, yang mana itu tidak menyentuh anak-anak. Jadi, mari semua para tokoh agama ini menyadari peranan penting agama dalam menjaga anak-anak Indonesia,” ungkap Iryanto. [pr/em]