Beberapa hari sebelum pergantian tahun, kekerasan kembali kembali mewarnai Provinsi Papua. Kali ini, kerusuhan meletus pada Kamis (28/12), bersamaan dengan proses pemakaman mantan Gubernur Papua Lukas Enembe yang meninggal pada 26 Desember 2023. Setidaknya 14 orang dilaporkan terluka dalam aksi kerusuhan itu.
Merespons insiden tersebut, aktivis HAM Mathius Murib mengakui figur Enembe sebagai big man sekaligus seorang tokoh adat yang dicintai rakyat Papua, memiliki tempat tersendiri di hati warga Papua terlepas dari kasus korupsi yang melilitnya.
Menjabat sebagai Gubernur Papua selama dua periode, Enembe menjadi simpul perbedaan pendapat antara Jakarta dan Papua. Perbedaan ini juga menjadi representasi dari akar konflik dan kekerasan yang tidak juga bisa diselesaikan di provinsi tersebut.
“Saya sangat terkesan dan saya pribadi merasa beliau orang yang baik, orang yang jujur, orang yang ngomong apa adanya,” kata Murib kepada VOA.
“Kalau masyarakatnya berpikir A, dia tidak bisa bicara B. Dia bicara apa adanya. Walaupun dia dalam kapasitas sebagai pemerintah sebaiknya mewakili keinginan pemerintah pusat, tapi kesan saya dia lebih pro kepada rakyat Papua,” tambah dia.
Diakhiri dan Diawali Kekerasan
Selama 10 tahun menjadi gubernur Papua, Enembe memang tidak mampu menghadirkan perdamaian sejati di provinsi tersebut. Namun, kondisi itu dianggap sebagai akibat dari sikap kerasnya, yang kerap berseberangan dengan pemerintah pusat. Misalnya, terkait Undang-undang Otsus Papua dan pemekaran wilayah. Dua isu itu menjadi salah satu sumber konflik, yang kadang berujung hilangnya nyawa rakyat Papua.
“Dia lebih pro kepada rakyat Papua dan karenanya hampir semua rakyat Papua, di pesisir, di pegunungan, merasa sangat kehilangan, karena beliau sifatnya merangkul, merespon dan ikut mengadvokasi masalah-masalah di Papua, termasuk masalah HAM,” tambah Murib.
Aksi pembakaran di sejumlah titik setelah jenazah Enembe dimakamkan, menjadi kado akhir tahun bagi Papua yang menambah panjang daftar kekerasan di wilayah itu.
Papua seperti mengakhiri 2023 dengan kekerasan, dan mengawali tahun baru juga dengan situasi yang serupa.
BACA JUGA: Kerusuhan di Papua, Sedikitnya 14 Luka Termasuk Pjs GubernurKado kekerasan berdarah di Papua tidak selesai di 2023. Hari pertama tahun ini, tepatnya 1 Januari 2024, seorang warga, Daud Bano, ditemukan meninggal di Kampung Karya Bumi, Distrik Nablong, Kabupaten Jayapura. Daud tewas setelah bertikai dengan salah satu anggota TNI di hari pertama tahun 2024. Kematian Daud juga diikuti aksi kekerasan balasan, yang menyebabkan hampir 1.000 orang di kampung Karya Bumi mengungsi.
“Ada tiga tempat atau titik pengungsian, yang berada di Kampung Karya Bumi Besum dengan jumlah total sebanyak 928 warga,” kata Kapolres Jayapura, AKBP Fredrickus W.A Maclarimboen, S.IK., dalam rilis resmi kepolisian.
Buntut terbunuhnya Daud, polisi juga mencatat satu kantor balai kampung dibakar, 21 unit rumah dirusak dan dijarah, delapan unit rumah dibakar, satu unit sepeda motor dibakar, 22 unit mobil dirusak dan 41 unit sepeda motor mengalami kerusakan.
Marinus Yaung, cendekiawan Papua dari Universitas Cenderawasih adalah salah satu kerabat dari Daud Bano. Marinus aktif melakukan advokasi dan meminta aparat keamanan mengusut tuntas kasus yang menimpa kerabatnya tersebut.
Marinus mengatakan setiap kasus kekerasan di Papua berdiri di atas konteks yang bisa ditelusuri dari persoalan-persoalan hukum di masa lalu yang tidak diselesaikan.
“Kekerasan hari ini adalah buah dari konteks-konteks di masa lalu yang tidak terselesaikan, hari ini banyak kekerasan seperti ini. Ini bagian dari konflik agraria yang tidak terselesaikan, dimana pada zaman Soeharto itu ada perampasan tanah yang tidak diberi kompensasi,” kata Marinus kepada VOA.
Kekerasan Turun-temurun
Kasus kekerasan yang mengiringi pemakaman Lukas Enembe, bisa ditarik dalam konteks jangka pendek. Sejumlah alasan seperti pertikaian Enembe dengan pemerintah pusat dalam beberapa isu, kasus korupsi yang membelitnya, upaya penangkapan, pengadilan terhadap Enembe dan kematiannya akhir Desember lalu melatarbelakangi aksi kekerasan tersebut.
Sementara, menurut Marinus, kasus yang terjadi pada 1 Januari 2024, harus ditarik kembali dalam konteks program transmigrasi yang dijalankan di era Presiden Soeharto pada 1974. Ketika itu, Soeharto mengirim para transmigran ke Papua, dan merampas tanah adat sebagai lokasinya. Warga asli telah melakukan penolakan dan menuntut adanya ganti rugi, namun usaha mereka tak kunjung membuahkan hasil.
BACA JUGA: Tuntut Jenazah Lukas Enembe Diarak, Kerusuhan Tak Terhindarkan“Sebenarnya pernah ada upaya-upaya penyelesaian, tapi mungkin belum terlalu memuaskan masyarakat adat. Akhirnya persoalan itu diwariskan ke anak-anak dan ada tuntutan yang berulang,” kata dia lagi.
Karena itulah, Marinus menekankan, setiap konflik yang ada di Papua harus benar-benar diselesaikan dengan tuntas, sehingga tidak ada kekerasan yang berlanjut di kemudian hari.
Dia juga menekankan sejumlah hal, yang harus diperhatikan ketika menyikapi kasus kekerasan di Papua. Pertama, laporan-laporan media yang mengupas kasus semacam itu harus berimbang dan tidak mendiskreditkan warga Papua.
“Pemberitaan media mainstream yang tidak berimbang ini, sering kali menyuburkan konflik dan merawat kekerasan sosial di Papua, dan juga membuat hubungan Jakarta dengan Papua menuju disintegrasi bangsa semakin terbuka lebar peluangnya,” kata Marinus memberi alasan.
Kedua, peran tokoh masyarakat juga penting, karena dalam adat Papua, jika seorang tokoh sudah bicara mewakili suara masyarakat, maka kemarahan masyarakat dapat dicegah. Ketiga, Marinus mengingatkan bahwa aparat keamanan di mata orang Papua, merepresentasikan wajah negara. Keempat, semua permasalahan yang muncul harus kembali dilihat dengan konteks yang menyertainya, ujar Martinus.
“Apa konteksnya? Yakni konflik-konflik yang tidak tuntas diselesaikan secara adil oleh negara. Konflik yang tidak terselesaikan, sudah pasti akan berakhir dengan kekerasan,” lanjutnya.
Dalam konteks terbunuhnya Daud Bano di Kampung Karya Bumi, konteksnya adalah konflik agraria di wilayah transmigrasi. Suku yang menganggap tanah transmigran itu sebagai tanah adat, menilai ada persoalan yang belum tuntas diselesaikan. Konflik warga Papua dengan warga transmigran menjadi api dalam sekam sepanjang waktu.
Persoalan Struktural
Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Papua memiliki analisa senada dengan Marinus. Ketika berkomentar tentang aksi kekerasan pasca meninggalnya Enembe, Franky melihat persoalan struktural yang mendorong meletusnya kerusuhan yang terjadi.
“Jadi terkait dengan situasi yang berkembang di Papua, kita lihat ada reaksi dari masyarakat dan juga kekerasan yang terjadi. Ini tidak bisa lepas dari situasi sosial yang sebelumnya berhubungan dengan persoalan struktural,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Jika ingin kekerasan di Papua mereda, Franky meminta pemerintah pusat serius menghentikan pendekatan keamanan yang selama ini dilakukan dan harus mengedepankan dialog damai.
“Sudah ada banyak inisiasi terkait dengan ini, tapi kami belum melihat adanya respons positif yang baik dari pemerintah. Dan yang terpenting adalah bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM dan persoalan sosial lainnya yang ada di Papua,” tambahnya.
BACA JUGA: Komnas HAM: Konflik di Papua Berlatar Banyak IsuSejumlah tokoh seperti Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Franz Magnis Suseno SJ, Marzuki Darusman, Alissa Wahid (PB NU), Pdt. Gomar Gultom (Ketum PGI) Abdul Mu’ti (Sekum PP Muhammadiyah) dan Mgr. Siprianus Hormat (Konferensi Waligereja Indonesia) baru-baru ini menyerukan pemerintah pusat untuk menempuh solusi damai bagi masalah di Papua.
Para tokoh itu menyebut, dinamika Papua saat ini tidak terlepas dari tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Banyak kritik terkait pengabaian suara masyarakat Papua dalam berbagai proses pemerintahan dan kebijakan pembangunan, termasuk dalam pembentukan daerah otonomi baru, pembukaan tambang dan bisnis ekstraktif skala besar.
Pemerintah Indonesia, kata para tokoh ini, terus mengecewakan masyarakat Papua karena tidak serius menangani pelanggaran HAM berat di tingkat nasional dan juga di Papua secara benar dan adil, seperti kasus Intan Jaya, Wasior, hingga Wamena. Selain itu, masih digunakannya pasal makar untuk memberangus kebebasan, kekerasan aparat keamanan, dan eksekusi di luar hukum turut menambah daftar kekecewaan orang Papua terhadap pemerintah pusat.
“Kami mendesak pemerintah Indonesia untuk berkomitmen menyelesaikan situasi di Papua saat ini dengan mengedepankan solusi yang bermartabat dan damai bagi masyarakat Papua. Perdamaian di tanah Papua perlu dihadirkan hadir bersamaan dengan keadilan,” tulis pernyataan para tokoh tersebut.
Banyak Kasus Belum Selesai
Aliansi Demokrasi Untuk Papua (ALDP) mencatat sepanjang Januari-November 2023, terdapat 56 kasus kekerasan dan konflik bersenjata, yang mengorbankan masyarakat sipil, aparat TNI, POLRI dan Kelompok bersenjata TPNPB di Papua.
Lembaga itu mencatat, dari 56 kasus tersebut, 12 di antaranya disertai perusakan fasilitas publik, seperti pesawat terbang, sekolah, bandara, kios dan kantor pemerintah.
“Pada kasus-kasus tersebut, pengungsi makin bertambah secara signifikan. Berasal dari masyarakat sipil Orang Asli Papua (OAP) dan juga non-OAP. Mobilisasi pengungsi OAP yang jumlahnya sangat besar, tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah,” ujar Latifa Kuswariba Alhamid dari ALDP, dalam publikasi tahunan lembaga tersebut, pada Desember lalu.
BACA JUGA: Aktivis Perempuan di Jayawijaya Tewas Dibunuh KKBMenurut catatan ALDP, sepanjang 2023 korban meninggal dunia akibat kekerasan di Papua untuk kalangan masyarakat sipil mencapai 44 orang, sementara di kalangan anggota TNI mencapai 22 orang. Jumlah korban tewas dari anggota kepolisian mencapai lima orang, dan korban tewas dari pihak TPNPB berjumlah 10 orang.
Sedangkan data untuk mereka yang mengalami luka-luka, jumlah di kalangan masyarakat sipil mencapai 37 orang, disusul oleh anggota kepolisian sebanyak 22 orang, lalu TPNPB sebanyak lima orang dan anggota TNI sebanyak empat orang.
Dalam pernyataannya, ALDP menggarisbawahi kunjungan presiden Jokowi belasan kali ke Papua yang tidak memberi dampak signifikan bagi perlindungan dan penegakan HAM. Presiden dinilai terlalu fokus pada aspek pembangunan infrastruktur. Persoalan dasar kemanusiaan, seperti ketidakadilan hukum, ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan sosial, gagal diwujudkan.
ALDP juga mencatat, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, stigma dan intimidasi masih banyak ditemukan. Sejauh yang bisa didata antara lain adalah peristiwa Sinakma 23 Februari 2023, kematian dua ibu di Dekai (11 Oktober), penyerangan terhadap penambang ilegal di Seradala, Yahukimo (16 Oktober), dan serangan terhadap pekerja bangunan Puskesmas di Kepala Air, Puncak (19 Oktober).
ALDP menyatakan, korban dari masyarakat sipil makin banyak karena ruang gerak dan ruang perang di antara TNI/POLRI melawan TPNPB cenderung ada di ruang publik, dimana masyarakat sipil hidup, tinggal dan beraktivitas sehari- hari.
“Padahal, di tempat-tempat terpencil seperti itu pada situasi yang tanpa perang sekalipun, mereka bagian dari kelompok yang tidak berdaya karena keterbatasan akses dan fasilitas untuk pemenuhan hak-hak dasar,” kata Latifa. [ns/rs]