Bulan Juli selalu membawa kenangan bagi Tineke Rumkabu. Dua puluh lima tahun lalu, tepatnya pada 6 Juli 1998, dia menjadi saksi peristiwa pilu yang kemudian dikenal sebagai Biak Berdarah.
Peristiwa itu berawal dari pengibaran bendera Bintang Kejora di menara air Kota Biak pada 2 Juli 1998. Sejumlah warga Biak menggelar aksi menjaga kibaran bendera itu dengan menyanyikan lagu rohani. Aparat keamanan pada awalnya ingin membubarkan massa dengan menggunakan gas air mata, tetapi gagal.
“Massa bertahan di bawah tower untuk mempertahankan bendera. Jadi bendera bertahan dari tanggal 2 sampai 6 subuh. Hari Senin, tanggal 6 Juli subuh, baru dibubarkan dengan aparat keamanan, baik dari Brimob, Angkatan Udara, terus dari Angkatan Laut, dan Brimob kiriman dari Pattimura (Ambon-red),” papar Tineke kepada VOA.
Dia mengatakan, masyarakat tidak melakukan perlawanan apapun ketika itu. Mereka tetap menyanyikan lagu rohani pada 6 Juli subuh. Kericuhan terjadi karena saat itu kemudian terdengar tembakan, dan massa berlarian tak terkendali.
Catatan organisasi Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) setidaknya terdapat 500 warga dari Desa Pnas, Waupnor dan Saramom, Kecamatan Biak yang terlibat dalam aksi di menara air tersebut. Aparat TNI dan Polri ketika itu menuduh para peserta aksi sebagai separatis. Aparat menggiring warga ke pelabuhan Biak, yang kemudian menjadi lokasi aksi kekerasan.
Kekerasan yang terjadi mengakibatkan sekitar 150 orang ditahan aparat keamanan. Empat korban mengalami luka berat dan dievakuasi ke Makassar yang saat itu masih bernama Ujung Pandang, tiga orang dinyatakan hilang, korban luka ringan 33 orang, dan korban meninggal delapan orang. Selain itu, ditemukan 32 mayat tidak dikenal seusai peristiwa ini.
Pelanggaran HAM Berat
Kasus Biak Berdarah kurang memperoleh perhatian dari pemerintah dan lembaga terkait, dibanding kasus lain seperti pelanggaran HAM berat Wasior, Paniai atau Wamena.
Setahun setelah peristiwa itu, ELSHAM Papua merilis laporan lebih dari 60 halaman berisi detil peristiwa Biak Berdarah. Laporan berjudul Nama Tanpa Pusara, Pusara Tanpa Nama itu dikirimkan ke Komnas HAM di Jakarta pada 10 Juli 1999.
Dalam surat kepada Komnas HAM yang ditandangani Uskup Jayapura ketika itu Mgr Leo Labaladjar, Pendeta Herman Saud, dan Pendeta Beny Giay dinyatakan bahwa rakyat Papua resah dan tidak tenang karena kasus pelanggaran HAM berat di Biak tidak ditangani secara serius.
Komnas HAM sendiri pernah membentuk kajian kebijakan daerah operasi militer Papua. Dari rilis yang dikeluarkan lembaga ini, hasil temuan tim pengkajian tersebut merekomendasikan kasus Biak Berdarah perlu diselidiki lebih lanjut karena adanya dugaan pelanggaran HAM berat.
Dalam penyataan pada 2020, Komnas HAM menyatakan berdasarkan hasil temuan pada 2010, kasus tersebut akan dibawa ke Sidang Paripurna Komisioner Komnas HAM. Namun, setidaknya sampai saat ini, belum dikeluarkan pernyataan lebih lanjut terkait rencana itu.
“Kami ingin pelaku tragedi Biak Berdarah bisa diadili secara hukum, sehingga negara kemudian bisa meminta maaf kepada korban,” kata Tineke Rumkabu yang kini menjadi koordinator BUK.
Dalam pernyataan dalam rangka memperingati 25 tahun Biak Berdarah, BUK menyayangkan belum adanya penyelesaian secara hukum maupun non-yudisial untuk kasus ini. Pemerintah dinilai tidak serius dan tidak berkomitmen untuk menyelesaikan kasus tersebut. BUK juga mendesak pemerintah untuk menyelengarakan sidang HAM terkait kasus Biak Berdarah dan menyelesaikannya secara konprehensif melalui pengadilan HAM.
“Kami menyerukan kepada seluruh komunitas masyarakat sipil pemerhati HAM di Indonesia dan Internasional, lembaga-lembaga HAM, lembaga-lembaga gereja, dan kelompok-kelompok advokasi HAM Papua di Indonesia, Pasifik, Australia, Eropa dan Amerika, untuk melakukan aksi solidaritas dengan kami, menyerukan pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat Biak Berdarah,” papar Tineke.
Tineke juga menyebut bahwa Jokowi tidak serius dalam menjalankan komitmennya dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Jokowi bahkan justru dianggap mendorong penyelesaian non-yudisial melalui skema Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun di sisi lain, kasus kekerasan yang terjadi di Papua terus berlanjut di tengah wacana itu.
Fokus Jalur Non-Yudisial
Pemerintah sendiri baru saja memulai proses penyelesaian non-yudisial terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Air. Di Papua, dari sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, hanya kasus Wamena dan Wasior yang masuk dalam skema ini. Kasus Biak Berdarah tidak disebut sama sekali.
Ketika meluncurkan program ini di Aceh akhir Juni lalu, Jokowi menyebut bahwa ini adalah proses lama dan sangat panjang.
“Saya yakin tidak ada proses yang sia-sia, semoga awal dari proses yang baik ini menjadi pembuka jalan bagi upaya-upaya untuk menyembuhkan luka-luka yang ada. Awal bagi terbangunnya kehidupan yang adil, damai, dan sejahtera di atas fondasi perlindungan dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia dan kemanusiaan,” kata Jokowi ketika itu.
Menjawab pertanyaan jurnalis di Papua pada 7 Juli 2023 terkait konflik di kawasan itu, Jokowi justru meminta agar masyarakat tidak hanya melihat Papua dari sisi negatif, tetapi juga dari sisi positif.
“Karena memang secara umum, 99 persen itu enggak ada masalah, begitu, lo. Jangan masalah yang kecil dibesar-besarkan, ya. Semua di tempat, di mana pun, di Papua kan, juga aman-aman saja. Kita karnaval juga aman, kita ke sini juga enggak ada masalah. Ya, kan? Kita malam makan di restoran juga enggak ada masalah. Jangan dikesankan justru yang dibesarkan yang negatif-negatif. Itu merugikan Papua sendiri, ya,” papar Jokowi.
Pernyataan itu dikritik sejumlah lembaga seperti Setara Institut dan Imparsial.
Pertanyakan Komitmen Jokowi
Nikodemus Momo, dari Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santo Thomas Aquinas ingat betul bagaimana Jokowi berjanji pada 2014 lalu. Begitu terpilih menjadi presiden, Jokowi datang ke Papua dan menyatakan akan mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Papua. Namun, sembilan tahun menjadi presiden, janji itu belum terealisasi.
“Ya itu, sebatas dia janji. Jadi periode pertama tidak terbukti, periode kedua sampai besok dia akan turun, 17 kali kunjungi Papua, tapi ya sama saja. Meninggalkan luka dalam sepanjang masa bagi orang asli di Papua,” kata Momo yang juga Ketua Lembaga Kajian Isu Strategis Pembangunan Papua di PP PMKRI.
Momo menilai Jokowi terlalu berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur di Papua, dan terakhir pada upaya pemekaran wilayah. Sementara di Papua, ada luka lama seperti peristiwa Biak, Wasior, Wamena hingga Paniai, yang masih belum tuntas. Luka itulah yang membuat suara-suara menuntut penentuan nasib sendiri terus bergaung sampai saat ini. Dialog yang dijanjikan untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu belum terwujud.
Menurut Momo, Jokowi seharusnya mendorong seluruh kasus pelanggaran HAM di Papua ke pengadilan. Namun, satu-satunya kasus pelanggaran HAM berat yang disidangkan, yaitu kasus Paniai, hasilnya mengecewakan. Dalam sidang di Makassar itu, keluarga korban menolak terlibat dan pelaku bebas.
“Jokowi secara pribadi yang mungkin kelihatannya kurang terlalu kuat dan juga tidak serius untuk mengurusi orang Papua, artinya yang beliau manfaatkan adalah sumber daya alam. Tetapi kalau untuk manusianya tidak begitu,” lanjut Momo.
Namun Momo mengakui, sebagai pribadi, Jokowi adalah Presiden Indonesia yang dicintai rakyat Papua. Apalagi, 17 kali Jokowi datang ke wilayah itu dan melihat langsung kondisi masyarakat. Tidak hanya di ibu kota provinsi, Jokowi juga berkunjung ke banyak wilayah terpencil, termasuk juga membangun jalan trans Papua. Tidak ketinggalan, gelaran Pekan Olahraga Nasional pada 2021, yang bagaimanapun menjadi kebanggaan warga Papua.
“Di satu sisi banyak juga kebijakan Pak Jokowi yang dikritisi, tapi bagi orang Papua. Pak Jokowi ini masih dicintai. Pribadi Jokowi masih sangat dicintai rakyat Papua,” tambahnya. [ns/ah]
Forum