Kekerasan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) kembali terjadi. Kali ini dialami pekerja rumah tangga perempuan berinisial SHK asal Pemalang,Jawa Tengah. Perempuan berusia 23 tahun itu mengalami tindak kekerasan dari majikannya dan lima PRT lain di kawasan Simprug, Jakarta Selatan. Ia antara lain dipukul, ditampar, dicakar, disundut dengan benda panas, diperintahkan memakan kotoran anjing peliharaan, hingga diikat dengan rantai dan diborgol di kendang anjing.
Berdasarkan hasil visum dokter di rumah sakit, SHK mengalami patah tulang tertutup pada tulang tempurung kepala dan lebam di kedua mata akibat benda tumpul. Luka parah juga tampak di bibir, atas leher, payudara dan kedua tungkai.
Saat ini polisi telah menetapkan delapan orang tersangka. Dua orang majikannya (suami-istri) yang masing-masing berumur 68 tahun dan 64 tahun, serta anak perempuan mereka dan lima PRT lainnya.
Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Endra Zulpan, berdasarkan keterangan korban kepada penyidik dan juga hasil pemeriksaan tersangka, kasus ini berawal pada bulan Juli. Korban ketahuan oleh majikan perempuannya menggunakan celana dalam miliknya sehingga ia marah dan semenjak itu perempuan yang bekerja sejak Maret 2022 itu kerap mendapatkan kekerasan fisik.
Erosi Kepedulisan Sosial ,
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Dr. Devie Rahmawati mengatakan kasus penganiayaan terhadap pekerja rumah tangga ini menjadi contoh telah terjadi erosi kepedulian sosial masyarakat terhadap sesama individu. PRT yang sejatinya sosok yang “menjadi bagian dari keluarga”, karena bermukim 24 jam bersama keluarga, telah diabaikan dan bahkan diperlakukan sebagai “budak” oleh sesama manusia lainnya, bukan hanya oleh keluarga majikan tetapi juga sesame PRT.
Pekerja rumah tangga yang diksinya masih sering disebut dengan “pembantu” menempatkan mereka dalam posisi tertindas baik secara sosial, mental maupun di hadapan hukum formal.
BACA JUGA: Hari Pekerja Rumah Tangga Sedunia: Dibutuhkan Tapi DiabaikanMandeknya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga selama lebih dari 18 tahun, tambah Devie, menunjukan adanya upaya melanggengkan “perbudakan modern” terhadap PRT yang sejatinya adalah seorang pekerja.
Pekerja rumah tangga sedianya berhak memperoleh jaminan kesehatan, hari libur, tunjangan hari raya (THR) dan sebagainya. Namun dalam praktiknya, mereka harus selalu siap bekerja 24 jam, tujuh hari seminggu, tanpa ada kesempatan libur, tanpa asuransi kesehatan dan jaminan hari tua, tanpa perlindungan hukum.
“Bahkan ada kecendrungan para majikan memperlakukan mereka seakan-akan ART ini adalah properti yang berhak mereka perlakukan sesuai keinginan mereka. Padahal ART ini juga pekerja layaknya pekerja-pekerja lainnya. Oleh karenanya, tentu saja kita sangat menyesalkan Rancangan Undang-Undang ART yang lebih dari 17 tahun terabaikan belum juga menampakan titik terang,” ujar Devie.
Data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyatakan sedikitnya ada 53 juta pekerja domestik di seluruh dunia, di mana 83 persen adalah perempuan.
JALA PRT: Kekerasan Berulang terhadap PRT adalah Fenomena Perbudakan
Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mengatakan kekerasan terhadap PRT yang terus terjadi merupakan fenomena perbudakan yang berkaitan dengan sistem yang masih bias kelas, bias gender dan bias ras serta feodalisme. Banyak orang, lanjutnya, masih melihat PRT sebagai barang milik yang bisa diperlakukan apa saja. Kondisi seperti ini sama dengan yang terjadi pada PRT migran di berbagai negara tujuan. Menurutnya negara selalu membiarkan kondisi ini.
“Jadi kasus hanya diproses secara hukum, secara litigasi tapi tidak merubah sistem. Yang diperlukan adalah merubah sistem. Perlunya untuk merubah sistem untuk merubah mindset, sikap, perilaku. Nah disini negara hadir, bagaimana negara memberikan perlakuan, perlindungan, pengawasan, kontrol terhadap situasi kerja PRT,” ungkap Lita.
Apabila negara hadir, kata Lita, nasib PRT tidak diserahkan pada pemberi pekerja. Untuk itu RUU Perlindungan PRT sangat penting untuk disahkan agar ada perlindungan dan peraturan yang mengatur secara spesifik situasi kerja pekerja rumah tangga yang jumlahnya lebih dari 4,2 juta di Indonesia.
Baleg DPR: Golkar dan PDI-Perjuangan Tak Setujui RUU PPRT
Sementara itu Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengungkapkan bahwa pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga masih jauh untuk dilakukan karena hingga kini draft RUU tersebut belum disepakati sebagai hak inisiatif DPR.
Sejauh ini pimpinan DPR lanjutnya belum mau untuk memparipurnakan atau membawa RUU Perlindungan PRT ke sidang paripurna. Lantas apa yang menjadi kekhawatiran pimpinan DPR yang masih menahan RUU tersebut.
“Kalau sejauh ini di Bamus yang mereka sampaikan adalah kalau ini (RUU PPRT) jadi undang-undang nanti akan ada undang-undang tukang gali sumur lah, supir lah, tapi itu ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar," katanya.
"Itu (RUU PPRT) sudah dua tahun selesai di Badan Legislasi tinggal di paripurnakan oleh pimpinan DPR. Padahal secara tata tertib apa yang sudah diselesaikan tidak boleh AKD (alat kelengkapan dewan) tidak boleh diinterupsi atau ditahan oleh pimpinan,” tambah Willy.
Menurut Willy, ada dua partai yang menolak di dalam pleno Baleg itu yaitu PDI-Perjuangan dan Partai Golkar.
Willy mengaku dia sudah tiga kali menyurati pimpinan DPR untuk memplenokan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan tidak ada respons apapun yang diberikan. RUU ini, lanjutnya, sangat dibutuhkan agar ada kepastian hukum bukan hanya untuk pekerja rumah tangga tetapi juga untuk pemberi kerja.
Your browser doesn’t support HTML5
Tim Gugus Tugas Percepatan RUU PPRT yang dibentuk pemerintah, kata Willy, merupakan angin segar. Situasi yang terjadi pada RUU PPRT sama dengan RUU TPKS sebelum disahkan. Namun kondisi berubah setelah Presiden Jokowi memberikan pernyataan tentang RUU TPKS sehingga fraksi-fraksi yang sebelumnya menolak langsung berubah sikapnya.
Untuk itu, Willy berharap Presiden juga mengeluarkan pernyataan perlunya segera disahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. [fw/em]