Pengadilan Negeri Buol, Sulawesi Tengah, pada minggu lalu mengeluarkan putusan yang menghenyakkan semua kalangan ketika menjatuhkan vonis hukuman kebiri kimia terhadap Baharuddin Kasim. Ia adalah terdakwa pelaku kekerasan seksual berulang pada anak kandung dan anak angkatnya. Pengadilan juga menjatuhkan hukuman 16 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp1 miliar yang akan diganti hukuman enam bulan penjara jika terdakwa tidak dapat dibayar.
“Putusan kebiri ini dijatuhkan dengan pertimbangan hukum yang ketat, memperhatikan keadaan-keadaan yang memberatkan terdakwa,” ujar Agung Dian Syahputra, Ketua Majelis Hakim PN Buol kepada VOA pada Selasa (16/5).
Pertimbangan yang dimaksud adalah kekerasan seksual berulang yang dilakukan terdakwa, dan keadaan Kabupaten Buol yang tercatat sebagai kabupaten dengan kasus kejahatan seksual terhadap anak tertinggi di Sulawesi Tengah.
PN Buol mencatat pada 2021, terdapat 27 kasus pelecehan seksual terhadap anak. Angka tersebut naik tipis menjadi 28 kasus pada 2022. Sementara hingga Mei 2023 ini sudah 30 kasus yang masuk pengadilan.
Sementara data yang dikumpulkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), menunjukkan angka yang lebih tinggi, di mana pada 2022 terdapat 664 kasus yang mencakup kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, perdagangan manusia (trafficking), dan penelantaran.
Kebiri Kimia
Lewat pernyataan tertulis, PN Buol juga menjelaskan situasi “memprihatinkan” di kabupaten itu terkait masalah kekerasan seksual terhadap anak-anak, yaitu “adanya guru yang mencabuli murid di kelas, kakek yang mencabuli cucu, ayah tiri yang menyetubuhi ataupun menyetubuhi anak tirinya, dan juga sudah ada beberapa kali ayah kandung yang menyetubuhi anak kandungnya sendiri.”
Bahkan setelah memutus perkara Baharuddin Kasim pada tanggal 11 Mei lalu, ada tiga perkara lain yang sedang didengar pengadilan, “yang pelakunya merupakan ayah dari si anak, baik ayah tiri maupun ayah kandung,” tambah Agung.
Ia menjelaskan bahwa Baharuddin Kasim sudah pernah dipenjara selama sembilan tahun karena menyetubuhi anak tirinya. “Setelah keluar dari penjara, bukannya insyaf, kejahatan yang dilakukan justru naik kelas dengan menyetubuhi anak kandungnya sendiri; bahkan tidak hanya satu kali,” ujarnya.
”Di titik inilah majelis berpendapat kalau pada anaknya saja ia tega, maka ada kemungkinan ia juga lebih tega menyetubuhi anak-anak lain yang bukan keluarganya. Sehingga untuk mencegah yang bersangkutan setelah keluar melakukan hal serupa, maka hasrat seksualnya perlu ditekan agar tidak ada lagi anak yang menjadi korban,” tambahnya.
Selain hukuman kebiri kimia, pengadilan juga memerintahkan pemasangan alat pendeteksi elektronik untuk jangka waktu dua tahun setelah terdakwa menjalani hukuman pidana pokoknya.
Reaksi Warga
Fian Siruyu, 44 tahun, warga Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, setuju dijatuhkannya hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak agar menimbulkan efek jera. Namun, ia menolak hukuman kebiri kimiawi yang menurutnya merendahkan martabat manusia.
BACA JUGA: Kekerasan Seksual di Balik Dinding Lembaga Pendidikan Berasrama“Meskipun kita tahu bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulawesi Tengah, khususnya anak di Sulawesi Tengah, beberapa tahun terakhir ini memang menunjukkan angka yang sangat tinggi dan mengkhawatirkan, tetapi bagi saya pribadi... hukuman kebiri tidak sesuai dengan hak asasi manusia,” ujar Fian pada VOA.
Ia juga tidak yakin hukuman kebiri dapat memberikan efek jera bagi pelaku yang berniat melakukan perkosaan.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya pemerkosaan, itu kan kejadiannya terus meningkat. Jadi saya juga tidak terlalu yakin bahwa hukuman kebiri ini akan memberikan efek jera bagi pelaku-pelaku atau orang yang masih berniat melakukan perkosaan,” kata Fian yang menilai pelaku sedianya divonis 30 tahun penjara.
HRW Serukan Hukuman Lain Untuk Timbulkan Efek Jera
Hal senada disampaikan Andreas Harsono, peneliti senior Human Rights Watch di Indonesia.
”Pemerintah Indonesia wajib melindungi anak-anak dari predator seks. Namun, upaya tersebut tak boleh melibatkan tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia. Hukum kebiri ini melanggar standar internasional soal hak asasi manusia. Ikatan Dokter Indonesia sudah memerintahkan anggotanya tak lakukan kebiri. Para hakim seyogyanya juga tak memakai hukuman kebiri,” tegas Andreas.
”Jika ingin menimbulkan efek jera, seharusnya dipilihkan hukuman lain, misalnya masa pemenjaraan yang lebih lama,” tambahnya.
Sosiolog: Mengapa Kekerasan Seksual pada Anak Marak di Buol?
Sosiolog di Universitas Airlangga, Surabaya, Profesor Dr. Pinky Saptandari menilai untuk kasus perkosaan yang berulang dan melibatkan korban orang terdeka, ”memang layak untuk ditingkatkan hukumannya.
”Tidak hanya masalah efek jera bagi pelaku atau calon pelaku lain, tetapi juga menjadi sarana untuk menegakkan keadilan," tukasnya.
Pinky juga menyoroti maraknya kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Buol, yang berpenduduk 145 ribu orang. Menurutnya, kasus tersebut tidak cukup hanya diselesaikan di meja hijau.
”Perlu ada pendekatan holistik untuk menangani kasus semacam itu, yang tak dapat dilepaskan dari tipologi atau karakteristik masyarakatnya, yang dalam antropologi hukum dikaji dalam pendekatan prosesual dan pluralisme hukum,” ujarnya.
Menurutnya, selain menggunakan pendekatan antropologi dan sosiologi hukum, pihak berwenang dapat melibatkan bagian kesehatan jiwa dan psikiatri.
BACA JUGA: Pemerkosa 13 Santri Herry Wirawan Ajukan Kasasi, Korban Harapkan Keadilan”Harus ada kajian yang lebih mendalam soal apa yang terjadi dalam masyarakat. Di sini perlu ada pendekatan antropologi dan sosiologi hukum, juga aspek lainnya. Bagian kesehatan jiwa bisa diturunkan juga untuk menggali kecenderungan tersebut. Bagian psikiatri RS jangan hanya ditempatkan untuk mengatasi bila ada kasus, tetapi juga bisa diajak mengkaji aspek kejiwaan dalam konteks keluarga dan komunitas,” tambah Pinky.
Direktur LIBU Perempuan di Kota Palu, Dewi Rana Amir, mengatakan, ”Tidak ingin terjebak dalam pro-kontra soal HAMnya. Yang saya mau ingatkan bahwa dampak kekerasan seksual itu sangat luar biasa dan mungkin tidak akan pernah pulih korbannya seumur hidup.”
”Kami tentu saja sangat mengapresiasi majelis hakim atas putusan ini. Yang kami tahu, hakim juga berkoordinasi dengan pihak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) dan sejak awal sudah mengatakan mereka akan mengambil pidana kebiri. Ini adalah hukuman kebiri pertama di Sulteng dan putusan ini patut dihargai,” imbuh Dewi. [em/ah]