Kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa telah muncul kembali di beberapa bagian Filipina selatan yang bergolak lama meskipun ada kesepakatan mengenai otonomi dengan kelompok-kelompok Muslim setempat, dan pihak berwenang mencurigai aksi terorisme itu dilakukan oleh faksi-faksi politik yang tidak termasuk dalam kesepakatan tersebut.
Pada akhir Agustus dan awal September, dua ledakan menghantam provinsi Sultan Kudarat, Filipina selatan. Salah satu ledakan itu menewaskan dua orang dan mencederai 30 lainnya, menurut laporan media setempat. Ledakan lainnya menewaskan tiga orang. Pada pertengahan September, sebuah bom melukai tujuh orang ketika bom itu meledak di Kota General Santos. Pasukan keamanan mendapati para pemberontak memobilisasi diri untuk apa yang ditakutkan sebagai serangan yang akan dilakukan.
Serangkaian serangan itu menyusul kekerasan selama puluhan tahun di pulau Mindanao, di mana sekitar 120.000 orang tewas karena pertempuran yang dipicu oleh para pemberontak Muslim yang menginginkan lebih banyak kontrol atas sumber daya di Filipina selatan.
Pada bulan Agustus, pemerintah menyetujui sebuah undang-undang tengara yang dianggap sebagai tonggak dalam sejarah negara itu, yang memberi warga Muslim kontrol lebih besar di Mindanao. Tetapi tidak semua kelompok pemberontak yang berjumlah 20 diikutsertakan dalam dalam perjanjian itu.
Pemberontak yang merasa diremehkan telah melakukan perlawanan lagi, kata para analis. Mereka mengatakan sebagian diilhami oleh ISIS, kelompok teroris Timur Tengah yang telah selama beberapa tahun terakhir berusaha memperluas pengaruhnya di Asia Tenggara. [lt]