Banyak buruh migran dari Asia dan Afrika yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Uni Emirat Arab mengatakan para majikan memukul mereka dengan tongkat atau kabel, meninju dan menampar mereka, dan mereka tidak bisa apa-apa karena tidak termasuk dalam undang-undang buruh negara itu, menurut kelompok hak asasi manusia, Kamis (23/10).
Keluhan akan siksaan itu banyak muncul dari seluruh negara Teluk Persia yang makmur dan bergantung pada pekerja asing. Kelompok Human Rights Watch mengatakan masalahnya adalah tempat tinggal para buruh mingran terikat dengan para majikan mereka melalui sistem sponsor yang mencegah mereka dapat berganti pekerjaan dengan mudah.
HRW mengutip penyitaan paspor, upah yang tidak dibayar, beban kerja yang berlebihan, penyekapan, kurang makanan dan penyiksaan psikologis, fisik dan seksual.
Kelompok advokasi dari New York itu mengatakan laporan mereka didasarkan pada wawancara dengan 99 buruh migran perempuan, agen-agen perekrutan dan para majikan di UEA. Sebanyak 22 perempuan mengatakan para atasan mereka menyiksa mereka, memukul dengan tongkat atau kabel, meninju atau menampar wajah mereka, menendang atau mencekik mereka. Enam perempuan lagi mengatakan atasan atau anggota keluarganya menyerang mereka secara seksual atau melecehkan mereka.
Sekitar 146.000 buruh migran perempuan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga di UEA, salah satu dari 10 negara terkaya di dunia. Sebagian besar dari mereka datang dari Filipina, Indonesia, India, Bangladesh, Sri Lanka, Nepal dan Ethiopia.
Seorang warga Indonesia berusia 28 tahun yang dikutip dalam laporan tersebut mengatakan majikannya memukulnya setiap hari dan pada Maret memelintir tangan kanannya di belakang punggungnya begitu keras sehingga sebuah tulang di pergelangan tangannya patah.
Majikannya itu menolak membawanya ke dokter. Dua bulan kemudian, si majikan melempar sepatu ke kakinya begitu keras sampai kakinya berdarah. Ia kemudian berhasil melarikan diri.
Seorang lagi pekerja dari Indonesia mengatakan majikannya memerkosanya tahun lalu ketika membawanya untuk membersihkan rumah kedua yang ia beli. Seorang pekerja Filipina mengatakan para majikannya menampar atau meninjunya supaya ia "bekerja lebih keras."
Hampir semua pekerja yang diwawancara mengeluhkan jam kerja yang panjang, sampai 21 jam per hari dalam kasus-kasus ekstrem, menurut laporan tersebut. Banyak yang mengeluh tidak dibayar tepat waktu atau secara penuh. Seorang pekerja malah mengatakan ia tidak pernah dibayar selama hampir tiga tahun.
Laporan tersebut mengatakan bahwa para pekerja sering bertahan dari siksaan dan eksploitasi selama berbulan-bulan karena takut dideportasi, tidak mendapatkan pekerjaan lagi atau ditahan karena melarikan diri.
Human Rights Watch menyerukan pencabutn atau perubahan sistem sponsor visa UEA yang memberikan majikan kontrol atas status imigrasi, kebebasan bergerak dan kebebasan memecat para pembantu rumah tangga.
Lembaga pemantau HAM itu mendesak negara-negara asal pekerja untuk meningkatkan kerjasama dengan UEA dalam pengawasan proses perekrutan, validitas kontrak dan penyelesaian kasus-kasus legal.
Menteri Tenaga Kerja Filipina, Erlinda Baldoz, mengatakan negaranya telah menghentikan pemrosesan kontrak untuk pembantu rumah tangga yang akan pergi ke UEA, karena UEA tidak mengizinkan para pejabat tenaga kerja Filipina melakukan verifikasi kontrak.
Baldoz mengatakan Departemen Luar Negeri akan memimpin pembicaraan bilateral untuk mengubah sistem sponsor visa.
Negara-negara Teluk yang kaya lainnya, termasuk Arab Saudi dan Qatar, juga telah menghadapi kritik atas perlakuan mereka terhadap buruh migran. (Reuters)