JAKARTA —
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Tatang Budie Utama Razak, Rabu (12/1) di Jakarta, mengatakan bahwa pemerintah RI melalui Perwakilan RI di Arab Saudi tengah mengupayakan pengampunan dari ahli waris keluarga korban bekas majikan Satinah.
Pemerintah RI masih melakukan negosiasi pemberian uang kematian atau diyat, sementara pihak keluarga korban sebelumnya meminta tujuh juta riyal atau setara dengan 12 milyar rupiah.
"Keluarga masih meminta lebih. Sekarang minta tujuh juta riyal, kita hanya ada empat juta riyal. Ya kita bilang ya silahkan tunggu dari dermawan lainnya kita juga sedang mengupayakan," kata Tatang Budie Utama Razak.
Tatang menjelaskan uang yang dimiliki Pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri bersumber dari anggaran Kementrian sebesar tiga juta riyal (Rp 9,7 miliar). Lalu sumbangan dari Asosiasi Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia sebesar 500 ribu riyal (Rp1,6 miliar), dan sisanya dari donatur asal Arab Saudi sebesar 500 ribu riyal (Rp1,6 miliar). Perwakilan RI menurut Tatang akan terus berkomunikasi agar ahli waris korban bisa menerima uang diyat sejumlah yang sanggup diberikan oleh pemerintah Indonesia.
"Nah ini, mengapa ? Kita juga harus fair harus adil. Ini adalah fakta hukum, ada kasus yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Kalau pemerintah akan menalangi sampai unlimited, padahal masih banyak hal-hal lain yang harus ditangani. Nah ini tentunya di satu sisi kita tetap peduli dan berpihak semaksimal mungkin, tapi disisi lain kita juga harus ada limit-nya," jelas Tatang.
Migran Care, LSM pegiat buruh migran Indonesia mengkritik cara kerja Pemerintah Indonesia yang terkesan lambat dalam memberikan perlindungan tenaga kerjanya di luar negeri. Direktur Migrant Care Anis Hidayah melihat Pemerintah baru bereaksi setelah TKI yang bermasalah dijatuhi vonis oleh pengadilan.
"Iya, masalahnya 'kan sering terlambat gitu, ya!. Jadi ketahuannya itu setelah kritis atau sudah vonis. Lalu kemudian barulah dilakukan diplomasi negosiasi termasuk bayar diyat. Mungkin kalo sejak awal ditangani bisa dibebaskan tentunya," kata Anis Hidayah. "Nah, ini saya kira pelajaran penting yang harus dipetik oleh pemerintah, bagaimana memastikan setiap buruh migrant yang terancam hukuman mati harus didampingi dengan memberikan bantuan hukum sejak awal," lanjutnya.
Satinah dijatuhi hukuman mati karena membuat majikannya tewas pada 16 Juni 2007, dan kabur dengan tas sang majikan uang berisi uang 37.970 Riyal atau Rp122 juta. Pengadilan Buraidah Provinsi Qaseem Arab Saudi sebelumnya memvonis hukuman mati perempuan asal dusun Mruten, Semarang di provinsi Jawa Tengah itu, dengan pelaksanaan eksekusi antara 5-8 Februari 2014.
Namun Lembaga Pemaafan dan Gubernur Provinsi Qaseem, berhasil melobi ahli waris keluarga korban, sehingga pemerintah RI masih diberi waktu untuk bernegosiasi soal nominal uang diyat hingga April mendatang.
Pemerintah RI masih melakukan negosiasi pemberian uang kematian atau diyat, sementara pihak keluarga korban sebelumnya meminta tujuh juta riyal atau setara dengan 12 milyar rupiah.
"Keluarga masih meminta lebih. Sekarang minta tujuh juta riyal, kita hanya ada empat juta riyal. Ya kita bilang ya silahkan tunggu dari dermawan lainnya kita juga sedang mengupayakan," kata Tatang Budie Utama Razak.
Tatang menjelaskan uang yang dimiliki Pemerintah dalam hal ini Kementerian Luar Negeri bersumber dari anggaran Kementrian sebesar tiga juta riyal (Rp 9,7 miliar). Lalu sumbangan dari Asosiasi Perusahaan Tenaga Kerja Indonesia sebesar 500 ribu riyal (Rp1,6 miliar), dan sisanya dari donatur asal Arab Saudi sebesar 500 ribu riyal (Rp1,6 miliar). Perwakilan RI menurut Tatang akan terus berkomunikasi agar ahli waris korban bisa menerima uang diyat sejumlah yang sanggup diberikan oleh pemerintah Indonesia.
"Nah ini, mengapa ? Kita juga harus fair harus adil. Ini adalah fakta hukum, ada kasus yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Kalau pemerintah akan menalangi sampai unlimited, padahal masih banyak hal-hal lain yang harus ditangani. Nah ini tentunya di satu sisi kita tetap peduli dan berpihak semaksimal mungkin, tapi disisi lain kita juga harus ada limit-nya," jelas Tatang.
Migran Care, LSM pegiat buruh migran Indonesia mengkritik cara kerja Pemerintah Indonesia yang terkesan lambat dalam memberikan perlindungan tenaga kerjanya di luar negeri. Direktur Migrant Care Anis Hidayah melihat Pemerintah baru bereaksi setelah TKI yang bermasalah dijatuhi vonis oleh pengadilan.
"Iya, masalahnya 'kan sering terlambat gitu, ya!. Jadi ketahuannya itu setelah kritis atau sudah vonis. Lalu kemudian barulah dilakukan diplomasi negosiasi termasuk bayar diyat. Mungkin kalo sejak awal ditangani bisa dibebaskan tentunya," kata Anis Hidayah. "Nah, ini saya kira pelajaran penting yang harus dipetik oleh pemerintah, bagaimana memastikan setiap buruh migrant yang terancam hukuman mati harus didampingi dengan memberikan bantuan hukum sejak awal," lanjutnya.
Satinah dijatuhi hukuman mati karena membuat majikannya tewas pada 16 Juni 2007, dan kabur dengan tas sang majikan uang berisi uang 37.970 Riyal atau Rp122 juta. Pengadilan Buraidah Provinsi Qaseem Arab Saudi sebelumnya memvonis hukuman mati perempuan asal dusun Mruten, Semarang di provinsi Jawa Tengah itu, dengan pelaksanaan eksekusi antara 5-8 Februari 2014.
Namun Lembaga Pemaafan dan Gubernur Provinsi Qaseem, berhasil melobi ahli waris keluarga korban, sehingga pemerintah RI masih diberi waktu untuk bernegosiasi soal nominal uang diyat hingga April mendatang.