Menurut kelompok-kelompok HAM internasional, ada banyak bukti bahwa orang-orang di negara bagian Rakhine, Burma, telah ditahan tanpa melalui proses hukum.
Pemerintah Burma berjanji akan mengambil langkah-langkah untuk memulihkan perdamaian di negara bagian Rakhine, di mana kekerasan antara warga Buddha Rakhine dan warga Muslim Rohingya pecah dua kali dalam enam bulan terakhir.
Pemerintah Burma mengatakan akan memprioritaskan untuk memulihkan aturan hukum, namun ketulusan untuk menjalankan keputusan yang ditetapkan pengadilan Sitwee minggu ini dipertanyakan.
Dalam konferensi pers minggu lalu, Menteri Urusan Perbatasan Burma Thein Htay, yang mengawasi upaya pemulihan perdamaian di negara bagian Rakhine, menjanjikan para penegak hukum di kawasan itu bahwa mereka yang dituduh memicu kekerasan pertama kali bulan Juni akan diadili.
Ia mengatakan, “Ada beberapa upaya untuk memulihkan aturan hukum, jadi kami mengangkat beberapa administrator di kawasan itu, dan kami juga punya beberapa satuan penyelidik khusus.”
Meski janji-janji itu dinyatakan, kelompok-kelompok HAM internasional prihatin, ada banyak bukti orang-orang ditahan tanpa ada proses hukum. Matthew Smith dari Human Rights Watch baru-baru ini berada di negara bagian Rakhine, yang sebelumnya dikenal sebagai Arakan, mengatakan, “Saya tahu ada ratusan orang yang ditahan di negara bagian Arakan. Ada banyak tempat tahanan di Arakan utara, Buthidaung, Maungdaw, Rathedaung. Katanya banyak yang ditahan di tempat-tempat ini, jadi sangat perlu adanya pengamat independen yang pergi ke penjara-penjara ini dan berbicara kepada orang-orang untuk mengetahui apa yang terjadi.”
Minggu ini Tun Aung, seorang etnik Rohingya, dihukum 15 tahun penjara terkait penyelidikan kerusuhan Rakhine. Namun, ia kemudian dituduh bersalah memiliki mata uang asing dan mengirim foto-foto kekerasan itu lewat e-mail. Amnesty International melaporkan ia tidak bisa mendapat pengacara, ataupun mendapat perawatan untuk penyakit tumor otak yang dideritanya.
Seorang puteri Tun Aung, yang bekerja untuk badan pengungsi PBB, juga ditangkap dan ditahan di penjara Insein di Rangoon.
Abu Tahay, pemuka masyarakat Rohingya dan mantan anggota parlemen, mengatakan Tun Aung bukan satu-satunya warga etnik Rohingya yang dihukum berat tanpa persidangan yang adil.
Pemerintah Burma mengatakan akan memprioritaskan untuk memulihkan aturan hukum, namun ketulusan untuk menjalankan keputusan yang ditetapkan pengadilan Sitwee minggu ini dipertanyakan.
Dalam konferensi pers minggu lalu, Menteri Urusan Perbatasan Burma Thein Htay, yang mengawasi upaya pemulihan perdamaian di negara bagian Rakhine, menjanjikan para penegak hukum di kawasan itu bahwa mereka yang dituduh memicu kekerasan pertama kali bulan Juni akan diadili.
Ia mengatakan, “Ada beberapa upaya untuk memulihkan aturan hukum, jadi kami mengangkat beberapa administrator di kawasan itu, dan kami juga punya beberapa satuan penyelidik khusus.”
Meski janji-janji itu dinyatakan, kelompok-kelompok HAM internasional prihatin, ada banyak bukti orang-orang ditahan tanpa ada proses hukum. Matthew Smith dari Human Rights Watch baru-baru ini berada di negara bagian Rakhine, yang sebelumnya dikenal sebagai Arakan, mengatakan, “Saya tahu ada ratusan orang yang ditahan di negara bagian Arakan. Ada banyak tempat tahanan di Arakan utara, Buthidaung, Maungdaw, Rathedaung. Katanya banyak yang ditahan di tempat-tempat ini, jadi sangat perlu adanya pengamat independen yang pergi ke penjara-penjara ini dan berbicara kepada orang-orang untuk mengetahui apa yang terjadi.”
Minggu ini Tun Aung, seorang etnik Rohingya, dihukum 15 tahun penjara terkait penyelidikan kerusuhan Rakhine. Namun, ia kemudian dituduh bersalah memiliki mata uang asing dan mengirim foto-foto kekerasan itu lewat e-mail. Amnesty International melaporkan ia tidak bisa mendapat pengacara, ataupun mendapat perawatan untuk penyakit tumor otak yang dideritanya.
Seorang puteri Tun Aung, yang bekerja untuk badan pengungsi PBB, juga ditangkap dan ditahan di penjara Insein di Rangoon.
Abu Tahay, pemuka masyarakat Rohingya dan mantan anggota parlemen, mengatakan Tun Aung bukan satu-satunya warga etnik Rohingya yang dihukum berat tanpa persidangan yang adil.