PAIK THAY —
Di sebuah desa terpencil di Burma, Tun Naing memukul istrinya karena menuntut beras untuk tiga anaknya. Tun mengatakan ia tidak sanggup membelinya. Pembatasan serupa aparteid telah mencegah warga Muslim sepertinya untuk bekerja untuk warga Budha di daerah tersebut, sehingga pekerja pabrik logam berumur 38 tahun itu kehilangan pekerjaannya.
Pertengkaran suami istri tersebut memancing para tetangga ikut campur. Warga kampung sebelah dari etnis Rakhine yang beragama Budha mulai menyerukan seruan anti Muslim. Ketegangan antar komunitas tersebut memuncak sehingga enam tentara ditempatkan di dekat mereka. Desa Tun Naing kemudian diserbu ratusan orang Rakhines. Dan Burma kemudian tenggelam dalam kekerasan sektarian selama seminggu yang menurut pemerintah menewaskan 89 orang, atau yang terburuk selama berpuluh tahun terakhir.
Kerusuhan pada bulan Oktober tersebut membuka sisi gelap sejarah Burma: Lepasnya kebencian etnis yang ditekan selama 49 tahun selama kependudukan militer. Hal ini merupakan ujian penting bagi pemerintahan baru yang lebih reformis.
Media milik pemerintah mengatakan ledakan kekerasan tersebut merupakan sesuatu yang spontan dan seringkali berakhir dengan warga Muslim membakar sendiri rumah-rumah mereka.
Namun investigasi yang dilakukan oleh kantor berita Reuters menunjukkan gambaran yang menyeramkan: Gelombang serangan tersebut merupakan sesuatu yang diorganisir, menurut sumber-sumber militer. Serangan tersebut dipimpin oleh para nasionalis Rakhine yang berhubungan dengan partai politik yang berkuasa di negara bagian tersebut, dihasut oleh biksu Budha dan, menurut beberapa saksi, bersekongkol dengan petugas keamanan setempat.
Seorang pemimpin Partai Pembangunan Kebangsaan Rakhine menyangkal peran mereka dalam mengorganisir serangan tersebut, namun mengakui kemungkinan keterlibatan pendukung di akar rumput.
“Saat massa bangkit dengan rasa nasionalisme etnis yang membara, sangat sulit untuk menghentikan mereka,” ujar Oo Hla Saw.
Ia menambahkan bahwa warga Rohingya ingin “mendirikan komunitas Islam otonom. Mereka secara sistematis merencanakan hal itu.”
Banyak warga Muslim yang dibunuh di kota Pauktaw dan Kyaukphyu, yang bisa disebut pembersihan etnis. Wawancara dengan pejabat pemerintahan, militer dan politisi, pemimpin politik dan puluhan warga Budha dan Muslim di wilayah konflik yang luas menunjukkan bahwa Burma memasuki fase kekerasan yang lebih buruk dengan penyiksaan 800.000 orang, kebanyakan etnis Rohingya, minoritas Muslim di negara berpenduduk mayoritas Budha tersebut.
Tidak ada bukti yang menunjukkan pemerintah nasional yang didominasi warga Budha mendorong kekerasan tersebut. Namun pemerintah terlihat telah mengantisipasi kerusuhan tersebut dengan menempatkan pasukan di antara desa Muslim dan Budha sebulan lalu, menyusul kabar burung mengenai serangan-serangan.
“Ini rasialisme,” ujar Shwe Hle Maung, 43, kepala desa Paik Thay, di mana keluarga Muslim yang miskin berdesak-desakan di dalam rumah beratap jerami tanpa ada aliran listrik.
"Pemerintah dapat menyelesaikan hal ini jika mereka mau dalam lima menit. Tapi mereka tidak melakukan apa pun.”
Kekerasan di Rakhine juga merupakan ujian bagi pemenang Nobel perdamaian Aung San Suu Kyi, saat ini merupakan pemimpin oposisi di parlemen, yang mencoba bersikap netral namun gagal mengurangi ketegangan dan berisiko mencederai citranya sebagai kekuatan moral pemersatu bangsa. Suu Kyi, penganut Budha yang taat, mengatakan ia menolak berpihak.
Konflik di negara bagian Rakhine telah menyebar bahkan ke daerah di mana warga Muslim telah lama hidup berdampingan secara damai dengan warga Budha. Di Paik Thay, warga Budha melemparkan bom Molotov ke pondok-pondok bambu tempat Tun Naing dan para tetangganya melarikan diri. Muhammad Amin, 62, mengatakan ia dipukuli pipa besi sampai tengkorak kepalanya retak. Kekerasan berakhir setelah tentara menembakkan peluru ke udara dan polisi menahan seorang warga Rakhine.
Pada 22 Oktober, ratusan pria Rakhine berkumpul di Mrauk-U, sekitar 15 mil dari Paik Thay, lalu menuju ke Tha Yet Oak, desa nelayan Muslim dengan penduduk 1.100 orang dan membakar rumah-rumah bambu mereka.
Warga kemudian melarikan diri dengan kapal ke desa tetangga Pa Rein, namun massa Rakhine mengikutinya, dan jumlah mereka telah meningkat menjadi 1.000 orang, menurut Kyin Sein Aung, 66, seorang petani Rakhine dari desa Budha dekat tempat itu. Jumlah orang Rakhine tersebut kemudian bertambah menjadi 4.000, menurut para saksi. Kerusuhan pun pecah sampai tentara membubarkannya.
Konflik ini tidak berhenti pada Oktober, namun menyebar ke tempat-tempat lain. Rumah-rumah dan mesjid dibakar, warga disiksa dan dibunuh.
Kay Aye, wakil kepala daerah Pauktaw, bersikeras bahwa warga Rohingya membakar sendiri rumah mereka dan menyalahkan masalah komunal tersebut pada jumlah penduduk Muslim yang naik dobel selama 10 tahun terakhir.
“Muslim ingin semua orang menjadi Muslim. Itu masalah dengan mereka. Kebanyakan Muslim di sini tidak terpelajar, jadi mereka cenderung lebih kasar daripada warga Rakhines,” ujarnya.
Presiden Thein Sein telah mengingatkan bahwa “orang dan organisasi” di belakang kekerasan negara bagian Rakhine akan diekspos dan dihukum. Massa diorganisir dan dipimpin oleh penghasut utama, beberapa diantaranya bergerak dari desa ke desa, ujar sumber militer pada kantor berita Reuters.
Di Kyaukphyu, polisi baru menangkap tujuh orang, enam diantaranya untuk penjarahan. Di Mrauk-U, tempat kasus pembunuhan tertinggi, hanya 14 orang yang ditangkap. Impunitas para penghasut memberi pesan yang menakutkan bagi komunitas Muslim di seluruh Burma.
Sebagian besar warga Rohingya berjuang untuk hidup saat ini. Sebuah survei 2010 oleh kelompok Aksi Melawan Kelaparan dari Perancis menemukan bahwa tingkat malnutrisi mencapai 20 persen dalam komunitas tersebut, jauh di atas batas darurat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia.
Para biksu, simbol demokrasi pada protes 2007 melawan junta militer, telah membantu mendorong kemarahan terhadap Muslim.
Nyar Nar, 32, salah satu biksu Rakhine menyebut Muslim sebagai penyerbu asing.
“Sebagai biksu, kami memiliki moralitas dan etika. Namun jika orang luar datang untuk menduduki lahan kami, kami harus mengangkat pedang untuk melindunginya,” ujarnya.
Di beberapa wilayah Rakhine, suasananya seperti perayaan.
“Ini waktu yang terbaik karena tidak ada lagi Muslim di sini,” ujar Zaw Min Oo, penjual sepatu Rakhine di Pauktaw. Hampir 95 persen dari komunitas Muslim berjumlah 20.000 orang telah pergi.
Namun kedamaian itu bisa berumur pendek. Usaha ceroboh negara bagian tersebut untuk melakukan segregasi, termasuk menempatkan puluhan ribu umat Muslim dalam kamp, bisa meledakkan kekerasan lebih besar. (Reuters/Jason Szep dan Andrew R.C. Marshall)
Pertengkaran suami istri tersebut memancing para tetangga ikut campur. Warga kampung sebelah dari etnis Rakhine yang beragama Budha mulai menyerukan seruan anti Muslim. Ketegangan antar komunitas tersebut memuncak sehingga enam tentara ditempatkan di dekat mereka. Desa Tun Naing kemudian diserbu ratusan orang Rakhines. Dan Burma kemudian tenggelam dalam kekerasan sektarian selama seminggu yang menurut pemerintah menewaskan 89 orang, atau yang terburuk selama berpuluh tahun terakhir.
Kerusuhan pada bulan Oktober tersebut membuka sisi gelap sejarah Burma: Lepasnya kebencian etnis yang ditekan selama 49 tahun selama kependudukan militer. Hal ini merupakan ujian penting bagi pemerintahan baru yang lebih reformis.
Media milik pemerintah mengatakan ledakan kekerasan tersebut merupakan sesuatu yang spontan dan seringkali berakhir dengan warga Muslim membakar sendiri rumah-rumah mereka.
Namun investigasi yang dilakukan oleh kantor berita Reuters menunjukkan gambaran yang menyeramkan: Gelombang serangan tersebut merupakan sesuatu yang diorganisir, menurut sumber-sumber militer. Serangan tersebut dipimpin oleh para nasionalis Rakhine yang berhubungan dengan partai politik yang berkuasa di negara bagian tersebut, dihasut oleh biksu Budha dan, menurut beberapa saksi, bersekongkol dengan petugas keamanan setempat.
Seorang pemimpin Partai Pembangunan Kebangsaan Rakhine menyangkal peran mereka dalam mengorganisir serangan tersebut, namun mengakui kemungkinan keterlibatan pendukung di akar rumput.
“Saat massa bangkit dengan rasa nasionalisme etnis yang membara, sangat sulit untuk menghentikan mereka,” ujar Oo Hla Saw.
Ia menambahkan bahwa warga Rohingya ingin “mendirikan komunitas Islam otonom. Mereka secara sistematis merencanakan hal itu.”
Banyak warga Muslim yang dibunuh di kota Pauktaw dan Kyaukphyu, yang bisa disebut pembersihan etnis. Wawancara dengan pejabat pemerintahan, militer dan politisi, pemimpin politik dan puluhan warga Budha dan Muslim di wilayah konflik yang luas menunjukkan bahwa Burma memasuki fase kekerasan yang lebih buruk dengan penyiksaan 800.000 orang, kebanyakan etnis Rohingya, minoritas Muslim di negara berpenduduk mayoritas Budha tersebut.
Tidak ada bukti yang menunjukkan pemerintah nasional yang didominasi warga Budha mendorong kekerasan tersebut. Namun pemerintah terlihat telah mengantisipasi kerusuhan tersebut dengan menempatkan pasukan di antara desa Muslim dan Budha sebulan lalu, menyusul kabar burung mengenai serangan-serangan.
“Ini rasialisme,” ujar Shwe Hle Maung, 43, kepala desa Paik Thay, di mana keluarga Muslim yang miskin berdesak-desakan di dalam rumah beratap jerami tanpa ada aliran listrik.
"Pemerintah dapat menyelesaikan hal ini jika mereka mau dalam lima menit. Tapi mereka tidak melakukan apa pun.”
Kekerasan di Rakhine juga merupakan ujian bagi pemenang Nobel perdamaian Aung San Suu Kyi, saat ini merupakan pemimpin oposisi di parlemen, yang mencoba bersikap netral namun gagal mengurangi ketegangan dan berisiko mencederai citranya sebagai kekuatan moral pemersatu bangsa. Suu Kyi, penganut Budha yang taat, mengatakan ia menolak berpihak.
Konflik di negara bagian Rakhine telah menyebar bahkan ke daerah di mana warga Muslim telah lama hidup berdampingan secara damai dengan warga Budha. Di Paik Thay, warga Budha melemparkan bom Molotov ke pondok-pondok bambu tempat Tun Naing dan para tetangganya melarikan diri. Muhammad Amin, 62, mengatakan ia dipukuli pipa besi sampai tengkorak kepalanya retak. Kekerasan berakhir setelah tentara menembakkan peluru ke udara dan polisi menahan seorang warga Rakhine.
Pada 22 Oktober, ratusan pria Rakhine berkumpul di Mrauk-U, sekitar 15 mil dari Paik Thay, lalu menuju ke Tha Yet Oak, desa nelayan Muslim dengan penduduk 1.100 orang dan membakar rumah-rumah bambu mereka.
Warga kemudian melarikan diri dengan kapal ke desa tetangga Pa Rein, namun massa Rakhine mengikutinya, dan jumlah mereka telah meningkat menjadi 1.000 orang, menurut Kyin Sein Aung, 66, seorang petani Rakhine dari desa Budha dekat tempat itu. Jumlah orang Rakhine tersebut kemudian bertambah menjadi 4.000, menurut para saksi. Kerusuhan pun pecah sampai tentara membubarkannya.
Konflik ini tidak berhenti pada Oktober, namun menyebar ke tempat-tempat lain. Rumah-rumah dan mesjid dibakar, warga disiksa dan dibunuh.
Kay Aye, wakil kepala daerah Pauktaw, bersikeras bahwa warga Rohingya membakar sendiri rumah mereka dan menyalahkan masalah komunal tersebut pada jumlah penduduk Muslim yang naik dobel selama 10 tahun terakhir.
“Muslim ingin semua orang menjadi Muslim. Itu masalah dengan mereka. Kebanyakan Muslim di sini tidak terpelajar, jadi mereka cenderung lebih kasar daripada warga Rakhines,” ujarnya.
Presiden Thein Sein telah mengingatkan bahwa “orang dan organisasi” di belakang kekerasan negara bagian Rakhine akan diekspos dan dihukum. Massa diorganisir dan dipimpin oleh penghasut utama, beberapa diantaranya bergerak dari desa ke desa, ujar sumber militer pada kantor berita Reuters.
Di Kyaukphyu, polisi baru menangkap tujuh orang, enam diantaranya untuk penjarahan. Di Mrauk-U, tempat kasus pembunuhan tertinggi, hanya 14 orang yang ditangkap. Impunitas para penghasut memberi pesan yang menakutkan bagi komunitas Muslim di seluruh Burma.
Sebagian besar warga Rohingya berjuang untuk hidup saat ini. Sebuah survei 2010 oleh kelompok Aksi Melawan Kelaparan dari Perancis menemukan bahwa tingkat malnutrisi mencapai 20 persen dalam komunitas tersebut, jauh di atas batas darurat yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia.
Para biksu, simbol demokrasi pada protes 2007 melawan junta militer, telah membantu mendorong kemarahan terhadap Muslim.
Nyar Nar, 32, salah satu biksu Rakhine menyebut Muslim sebagai penyerbu asing.
“Sebagai biksu, kami memiliki moralitas dan etika. Namun jika orang luar datang untuk menduduki lahan kami, kami harus mengangkat pedang untuk melindunginya,” ujarnya.
Di beberapa wilayah Rakhine, suasananya seperti perayaan.
“Ini waktu yang terbaik karena tidak ada lagi Muslim di sini,” ujar Zaw Min Oo, penjual sepatu Rakhine di Pauktaw. Hampir 95 persen dari komunitas Muslim berjumlah 20.000 orang telah pergi.
Namun kedamaian itu bisa berumur pendek. Usaha ceroboh negara bagian tersebut untuk melakukan segregasi, termasuk menempatkan puluhan ribu umat Muslim dalam kamp, bisa meledakkan kekerasan lebih besar. (Reuters/Jason Szep dan Andrew R.C. Marshall)