Lebih dari 300 ribu orang di Amerika saat ini memiliki Status Perlindungan Sementara atau TPS. Status ini memungkinkan non-warga negara untuk tinggal dan bekerja di Amerika ketika negara asal mereka dianggap tidak aman. Tetapi pemerintah Trump berupaya membatalkan program TPS itu dan keputusan itu membuat banyak keluarga khawatir.
Kehidupan keluarga Ayala berantakan dan berada dalam kondisi panik tahun 2018 lalu akibat satu pengumuman oleh Menteri Urusan Keamanan Dalam Negeri (ketika itu) Kirstjen Nielsen.
Nielsen menyerukan diakhirinya program yang disebut Status Perlindungan Sementara atau TPS. Program ini sangat memberi manfaat pada migran dari El Salvador, Nikaragua, Honduras dan Sudan yang meninggalkan negara mereka di tengah terus berlanjutnya konflik bersenjata, bencana lingkungan hidup dan kondisi-kondisi luar biasa lainnya.
Elsy Flores Ayala, yang mendapatkan manfaat dari program itu mengatakan, “Yang benar adalah anak-anak kita tidak pernah tahu banyak tentang status itu hingga tiga setengah atau empat tahun lalu. Anak perempuan tertua saya, yang juga memiliki status TPS, memulai proses aplikasi kuliah dan ketika itu ia mulai memahami tentang statusnya itu.”
Keluarga Ayala tiba di Amerika tahun 2001, tahun ketika El Salvador dilanda gempa bumi. Setelah mendapat TPS, Ayala membeli rumah, memiliki pekerjaan dan akhirnya memiliki dua anak.
“Kami telah tinggal di Amerika selama lebih dari 20 tahun. Kami merasa ini adalah rumah kami. Anak-anak kami merasa ini adalah rumah mereka,” jelasnya.
Program TPS saat ini sedang dibahas di pengadilan dan Ayala ikut disebut dalam dokumen-dokumen pengadilan itu.
Pengadilan Banding di 9th US Circuit, telah mendengar argumen-argumen tentang program TPS ini awal Agustus lalu. Salah seorang pengacara, Diego Ferreyra, mengatakan, “Sangat mungkin kasus ini akan berakhir di Mahkamah Agung. Dengan ditunjuknya hakim terakhir di Mahkamah Agung, badan itu menjadi lebih konservatif dan kemungkinan upaya hukum kami tidak akan membuahkan hasil. Tetapi kami bertekad untuk bertarung habis-habisan.”
VOA berupaya mengontak pejabat-pejabat Departemen Keamanan Dalam Negeri yang mengatakan undang-undang saat ini mensyaratkan kajian berkelanjutan untuk menentukan apakah negara dan warga negara yang bersangkutan masih berhak mendapatkan TPS, dan nasib status mereka jika ada perubahan kondisi di negara tersebut. [em/jm]