Dua tahun lalu, Arnold Lokbere terpaksa pulang ke Nduga, Papua, karena kesulitan membayar biaya kuliahnya di Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, Jawa Tengah. Di Nduga, Arnold bekerja di proyek-proyek bangunan untuk mengumpulkan biaya menyelesaikan kuliah. Tragisnya, Arnold menjadi satu dari empat korban pembunuhan disertai mutilasi, yang dilakukan oknum TNI di Kabupaten Mimika, Papua, 22 Agustus 2022 lalu.
Kisah itu disampaikan Ereminas Reymond Nirigi, yang masih satu keluarga besar dengan Arnold, dan sama-sama berkuliah di Semarang. Reymond mengenal dekat keempat korban. Dia adalah keponakan dari Lemaniol Nirigi dan Irian Nirigi, serta tumbuh bersama Arnold Lokbere di Nduga.
“Saya sangat menolak keras tuduhan yang mereka sempat lontarkan ke berbagai media, bahwa ada simpatisan KKB yang terlibat dalam dugaan transaksi atau jual beli senjata itu,” kata Reymond kepada VOA, Kamis (8/9).
Reymond menegaskan keempatnya pergi ke Mimika untuk berbelanja bahan bangunan. Mimika dipilih karena terhubung dengan Nduga melalui transportasi perairan sehingga memudahkan mereka membawa barang.
“Tujuan utama mereka ke Mimika adalah untuk belanja, material-material yanga akan digunakan untuk membangun di Kabupaten Nduga,” ungkap Reymond yang merupakan tokoh senior Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga Se-Indonesia (IPMNI).
Selain Arnold Lokbere yang merupakan mahasiswa, Reymond menjelaskan bahwa pamannya, Irian Nirigi, merupakan kepala desa di Nduga, dan Lemaniol Nirigi adalah pegawai honorer pemerintah kabupaten setempat. Korban paling muda, Atis Tini masih berstatus pelajar.
Untuk memperjelas bagaimana kasus ini terjadi, keluarga meminta hasil otopsi keempat korban segera dipublikasikan.
“Dari pihak keluarga korban menuntut hasil otopsi yang dilakukan di RSUD dipublikasikan, agar publik atau media yang ada di Indonesia bisa mengetahuinya,” kata Reymond.
BACA JUGA: Keluarga Korban Mutilasi Oknum TNI di Papua Menuntut Keadilan“Kami juga berharap, pihak keamanan melakukan upaya penegakan hukum dengan sebenar-benarnya,” tambahnya.
Keluarga korban juga mengapresiasi apa yang sudah dilakukan aparat penegak hukum untuk mengusut kasus ini. Perintah Presiden Joko Widodo dan Panglima TNI untuk membuka kasus ini dengan tuntas, juga disambut positif.
Keprihatinan dari Yogyakarta
Suara senada juga datang dari Dewan Pimpinan Wilayah Indonesia Barat, Ikatan pelajar dan Mahasiswa Nduga se-Indonesia. Melalui pernyataan yang disampaikan Alpons Gwijangge di Yogyakarta, para mahasiswa ini menolak upaya mengaitkan korban pembunuhan disertai mutilasi di Mimika dengan gerakan separatis.
“Kami menuntut, institusi TNI/Polri, segera mencabut pelabelan simpatisan KKB terhadap korban pembunuhan mutilasi Arnold dan kawan-kawan di Timika, Papua. Kami menolak segala macam pelabelan GPK, Gerembolan, KKB, KKSB, teroris, terhadap masyarakat sipil Papua,” ucap Alpons di Yogyakarta.
Menurut para mahasiswa, TNI/Polri bertanggung jawab atas pelabelan korban pembunuhan sebagai simpatisan atau anggota KKB. Alasannya, pelaku pembunuhan merupakan anggota TNI aktif, sehingga sebagai institusi, TNI seolah mencari pembenaran atas pembunuhan masyarakat sipil tersebut.
Dewan Pimpinan Wilayah Indonesia Barat, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Nduga se-Indonesia juga tegas mengutuk para pelaku pembunuhan. Mereka juga menuntut dan mendesak segera diungkap, diadili dan diproses secara hukum seluruh pelaku pembunuhan mutilasi di pengadilan umum.
“Segera ungkap motif pembunuhan mutilasi terhadap masyarakat sipil. Kami juga meminta Komnas HAM RI, segera investigasi kasus pembunuhan mutilasi di Timika, Papua,” tambah Alpons.
Lebih dari itu, para pelajar dan mahasiswa Nduga ini juga memintab Presiden Jokowi segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua dan membuka akses jurnalis asing di sana.
Your browser doesn’t support HTML5
Para mahasiswa menilai, tindakan pelaku yang merampas uang Rp250 juta, membakar mobil dan membuang jenazah korban adalah pembunuhanan yang tidak berperikemanusiaan.
“Padahal, para pelaku tidak memiliki gangguan kejiwaan. Sehingga dugaan kami para pelaku memiliki motif lain yang harus dibuka secara terang benderang, apa motif dibalik pembunuhan mutilasi Arnold Lokbere dan kawan-kawan ini,” tandas Alpons.
Mereka juga meminta para pelaku, meskipun anggota TNI aktif, tidak diadili di pengadilan militer, tetapi di pangadilan umum, bersama pelaku dari unsur sipil.
Diancam Hukuman Mati
Pada kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, meminta perhatian lebih dari negara terhadap kasus ini. Perhatian terutama diharapkan berasal dari Panglima TNI Jenderal TNI Andhika Perkasa dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman.
“Agar para terduga pelaku tindak pidana pembunuhan disertai mutilasi yang terjadi terhadap empat warga sipil asli Papua di Mimika, dihukum dengan hukuman paling berat, yaitu hukuman mati,” kata Yan.
BACA JUGA: Kasus Mutilasi di Papua, Panglima TNI: Penyelidikan akan Transparan, Tak Ada Satu Pun Prajurit yang Terlibat akan LolosSebagai advokat, Yan menilai perbuatan para terduga pelaku, baik yang menjadi anggota TNI aktif maupun warga sipil, memenuhi unsur pidana yang diatur di dalam pasal 340 KUHP dan atau pasal 338 KUHP. Juga dilekatkan dengan pasal 55 KUHP, guna menunjukkan bahwa diduga keras pelaku terdiri dari lebih dari satu orang, karena tuduhannya adalah pembunuhan berencana.
“Menurut saya, dikenakannya pidana mati bagi para terduga pelaku yang kini sudah menjadi tersangka adalah tepat dan proporsional, sesuai perbuatan yang mereka lakukan terhadap keempat korban pembunuhan disertai mutilasi tersebut,” tandasnya. [ns/ab]