Kemarahan meningkat di seluruh dunia pada kematian George Floyd, laki-laki Amerika keturunan Afrika yang meninggal minggu lalu setelah ditangkap oleh polisi di jalan kota di Minneapolis, Minnesota.
Diplomat senior Uni Eropa, Josep Borrell di Brussels mengatakan kematian Floyd disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan.
"Seperti rakyat Amerika, kami terkejut dengan kematian George Floyd," kata Borrell.
Tetapi dengan pecahnya demonstrasi yang kacau selama tujuh malam turut-turut, Borrell menekankan Eropa "mendukung hak bagi demonstrasi damai dan mengutuk kekerasan serta rasisme dalam bentuk apa pun, dan juga menyerukan penurunan ketegangan."
BACA JUGA: Hasil Autopsi Sebut Kematian Floyd sebagai PembunuhanRibuan orang berbaris di pusat kota Sydney, kota terbesar di Australia, dengan lebih banyak lagi demonstrasi direncanakan di Paris dan tempat lainnya di Perancis, serta demonstrasi di Den Haag, Belanda.
Para demonstran Australia meneriakkan, "Saya tidak bisa bernapas," yang berulang kali diucapkan Floyd ketika diborgol dan telungkup di jalan kepada seorang polisi kulit putih, Derek Chauvin, yang menekan lututnya ke leher Floyd selama lebih dari delapan menit. Chauvin telah didakwa dengan pembunuhan tingkat tiga dan pembunuhan secara sengaja dalam kasus ini.
Para demonstran Australia membandingkan kasus Floyd dengan kasus David Dungay, seorang laki-laki Aborigin berusia 26 tahun yang meninggal di penjara Sydney pada 2015 ketika ditahan oleh lima polisi. Dungay juga megap-megap sebelum meninggal sehingga ia tidak bisa bernapas.
Para pengunjuk rasa membawa plakat merujuk pada demonstran di AS yang mengatakan, "Kami Melihat Anda, Kami Mendengar Anda, Kami Mendukung Anda." Plakat lainnya berbunyi, "Kami di sini karena mereka tidak mendukung," yang menunjukkan gambar Floyd dan Dungay.
Para pemimpin Afrika juga mengecam kematian Floyd ketika berada dalam tahanan polisi.
Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo, dalam sebuah pernyataan mengatakan "Ada yang tidak benar kalau pada abad ke-21 ini, Amerika yang katanya benteng besar demokrasi , masih bergelut terus dengan masalah rasisme yang sistemik."
Pemimpin oposisi Kenya dan mantan Perdana Menteri Raila Odinga mengatakan ia berdoa "agar ada keadilan dan kebebasan bagi semua manusia yang menyebut Amerika sebagai negaranya." [my/jm]