Sesuatu yang tidak pernah terlihat dalam lebih 50 tahun, terjadi pada Juli 2015, saat bendera Amerika berkibar di kedutaan Amerika di Havana, menandai berakhirnya kebekuan di antara kedua negara.
Beberapa bulan kemudian, untuk pertama kali presiden Amerika, Barack Obama, menginjakkan kaki di Kuba sejak revolusi membawa Fidel Castro ke kekuasaan tahun 1959. Presiden Obama saat itu mengatakan, "Saya datang ke sini untuk mengubur sisa-sisa terakhir Perang Dingin di benua Amerika. Saya datang ke sini untuk mengulurkan persahabatan kepada rakyat Kuba."
Presiden Obama mengakui, masih ada perbedaan antara pemerintah Kuba dan Amerika, terutama mengenai demokrasi dan hak asasi, tetapi cara terbaik mengatasi perbedaan-perbedaan itu adalah melalui keterlibatan.
Lalu, dimulailah pelonggaran pembatasan terhadap Kuba guna menciptakan lebih banyak peluang ekonomi. Para pakar percaya itu penting demi kemajuan negara pulau itu dan dimulai semasa Fidel Castro masih hidup. Tetapi mereka mengakui masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Direktur Institut Kebijakan Publik pada Florida International University, Brian Fonseca, melalui Skype mengatakan, "Menurut saya, kematian Fidel tidak akan memicu perubahan besar dalam hal evolusi politik di Kuba."
Kritikus percaya seharusnya ada janji dari Kuba untuk memperbaiki catatan hak asasinya sebelum Amerika membuat perubahan kebijakan. Dalam kampanyenya, Presiden terpilih Donald Trump berjanji akan membatalkan perintah eksekutif Obama terkait Kuba kecuali bila rezim Castro memenuhi tuntutan Amerika.
"Tuntutan itu akan mencakup kebebasan beragama dan berpolitik bagi rakyat Kuba, dan pembebasan tahanan politik," ujarnya.
Dalam dua tahun ini, kebijakan Amerika terhadap Kuba telah berubah. Dengan terpilihnya presiden baru dan kematian Fidel Castro, tampaknya kebijakan itu akan berubah lagi. [ka/al]