Pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) menjadi salah satu topik bahasan dalam KTT APEC di Nusa Dua Bali.
DENPASAR —
Pemerintah Indonesia meminta kepada negara-negara anggota Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) untuk mengimplementasikan kembali Bogor Goals atau Deklarasi Bogor APEC pada 1994 jika ingin serius mengoptimalkan pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Demikian disampaikan Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan, Edy Putra Irawady dalam keteranganya usai peluncuran APEC Unthinkable Week 2013 di Kuta Bali pada Rabu sore (2/10).
Dalam Deklarasi Bogor, salah satu isi pokoknya memuat upaya mewujudkan sistem perdagangan multilateral yang terbuka dan mengurangi hambatan dagang dan investasi untuk memungkinkan barang, jasa, dan modal mengalir dengan bebas di kalangan anggota APEC.
Edy mengatakan jika Deklarasi Bogor diimplementasikan maka arus ekspor dan impor barang termasuk produk dari UMKM akan semakin lancar. Apalagi jika kemudian ada upaya untuk meningkatkan konektivitas antar negara APEC, dan kesepakatan untuk mengurangi biaya transaksi oleh negara-negara anggota APEC, ujarnya.
“Makanya Indonesia inisiatif cepat, APEC kami ingin supply change turun lagi 10 persen sampai 2015, kita minta negara APEC semua biaya transaksi itu turun 15 persen dan waktu yang lamanya juga turun juga 15 persen. Kemudian yang tidak jelas juga turun 15 persen, itu yang kita harapkan dari APEC ini, supaya kita bisa menjadi pemasok ke negara-negara APEC dan menarik investasi dari negara APEC lebih cepat,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pembina Kewirausahaan Indonesia, Handito Joewono mengatakan khusus untuk di Indonesia, pengembangan UMKM harus lebih difokuskan pada peningkatan daya saing dan membantu UMKM untuk mengakses pasar.
“Apakah mereka langsung ekspor ke sana ke mari, inikan masih ada kesenjangan besar, kesenjangan ini yang harus dijembatani. Jembatanya itu bisa dengan waktu, berdasarkan waktu mereka bisa maju, tetapi bisa juga ada pemain tengahnya. Saya rasa tidak apa-apa mengembangkan distributor eksport,” ujarnya.
Sementara Ketua Pusat Pengembangan Kewirausahaan Universitas Udayana Sayu Ketut Sutrisna Dewi mengatakan secara rata-rata UMKM di Indonesia belum berkembang karena belum mendapatkan sentuhan bisnis.
“Kalau seandainya mereka sudah diberikan sentuhan bisnis, salah satunya misalnya dengan menghasilkan produk yang sesuai dengan selera pasar global, itu mungkin mereka tidak akan lagi menjadi bulan-bulanan buying agent. Sekarang malah mereka tidak tahu produknya di ekspor,” ujarnya.
Sayu Ketut mengatakan terdapat dua hal pokok yang harus dilakukan pemerintah dalam pengembangan UMKM di tanah air: Memfasilitasi UMKM dalam mengakses sumber modal dan mengakses pasar. Sebelumnya, Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan, Edy Putra Irawady menyebutkan jumlah UMKM di Indonesia saat ini sekitar 55 juta unit.
Demikian disampaikan Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan, Edy Putra Irawady dalam keteranganya usai peluncuran APEC Unthinkable Week 2013 di Kuta Bali pada Rabu sore (2/10).
Dalam Deklarasi Bogor, salah satu isi pokoknya memuat upaya mewujudkan sistem perdagangan multilateral yang terbuka dan mengurangi hambatan dagang dan investasi untuk memungkinkan barang, jasa, dan modal mengalir dengan bebas di kalangan anggota APEC.
Edy mengatakan jika Deklarasi Bogor diimplementasikan maka arus ekspor dan impor barang termasuk produk dari UMKM akan semakin lancar. Apalagi jika kemudian ada upaya untuk meningkatkan konektivitas antar negara APEC, dan kesepakatan untuk mengurangi biaya transaksi oleh negara-negara anggota APEC, ujarnya.
“Makanya Indonesia inisiatif cepat, APEC kami ingin supply change turun lagi 10 persen sampai 2015, kita minta negara APEC semua biaya transaksi itu turun 15 persen dan waktu yang lamanya juga turun juga 15 persen. Kemudian yang tidak jelas juga turun 15 persen, itu yang kita harapkan dari APEC ini, supaya kita bisa menjadi pemasok ke negara-negara APEC dan menarik investasi dari negara APEC lebih cepat,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pembina Kewirausahaan Indonesia, Handito Joewono mengatakan khusus untuk di Indonesia, pengembangan UMKM harus lebih difokuskan pada peningkatan daya saing dan membantu UMKM untuk mengakses pasar.
“Apakah mereka langsung ekspor ke sana ke mari, inikan masih ada kesenjangan besar, kesenjangan ini yang harus dijembatani. Jembatanya itu bisa dengan waktu, berdasarkan waktu mereka bisa maju, tetapi bisa juga ada pemain tengahnya. Saya rasa tidak apa-apa mengembangkan distributor eksport,” ujarnya.
Sementara Ketua Pusat Pengembangan Kewirausahaan Universitas Udayana Sayu Ketut Sutrisna Dewi mengatakan secara rata-rata UMKM di Indonesia belum berkembang karena belum mendapatkan sentuhan bisnis.
“Kalau seandainya mereka sudah diberikan sentuhan bisnis, salah satunya misalnya dengan menghasilkan produk yang sesuai dengan selera pasar global, itu mungkin mereka tidak akan lagi menjadi bulan-bulanan buying agent. Sekarang malah mereka tidak tahu produknya di ekspor,” ujarnya.
Sayu Ketut mengatakan terdapat dua hal pokok yang harus dilakukan pemerintah dalam pengembangan UMKM di tanah air: Memfasilitasi UMKM dalam mengakses sumber modal dan mengakses pasar. Sebelumnya, Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Perniagaan dan Kewirausahaan, Edy Putra Irawady menyebutkan jumlah UMKM di Indonesia saat ini sekitar 55 juta unit.