Dengan wajah berseri-seri pemimpin kelompok ekstrem kanan Marine Le Pen tiba di markas partai “National Rally” (NR) pimpinannya Senin pagi (10/6) untuk melangsungkan pembicaraan mengenai strategi pemilihan partai itu menjelang pemilihan legislatif mendatang.
Le Pen hanya tersenyum saat dimintai komentar tentang seruan Presiden Emmanuel Macron sehari sebelumnya untuk melangsungkan pemilu legislatif mendadak, dengan mengatakan ia tidak dapat mengabaikan realitas politik yang baru setelah partainya – yang pro-Eropa – kalah telak dan diproyeksikan hanya akan mendapatkan kurang dari separuh dukungan dari NR yang dipimpin Le Pen.
"Inilah sebabnya, setelah melakukan konsultasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Konstitusi kita, saya telah memutuskan untuk mengembalikan pilihan masa depan parlemen kepada Anda, melalui pemungutan suara. Oleh karena itu saya akan membubarkan Majelis Nasional malam ini. Sebentar lagi, saya akan menandatangani dekrit yang menyerukan pemilihan legislatif, yang akan diselenggarakan pada tanggal 30 Juni untuk putaran pertama dan pada tanggal 7 Juli untuk putaran kedua," ujar Macron.
Wakil Presiden NR Louis Aliot memuji keputusan Macron, dan menegaskan partainya siap untuk memerintah negara.
“Jika NR memiliki mayoritas, atau mayoritas dari koalisi, maka kami akan memiliki kapasitas untuk mengembalikan Prancis ke jalur yang benar.”
Pemilu Parlemen Eropa Guncang Fondasi
Pemilihan umum yang berlangsung sejak Kamis lalu (7/6) telah mengguncang fondasi Uni Eropa, yaitu partai-partai sayap kanan yang berkuasa di Prancis dan Jerman, yang merupakan kekuatan pendorong tradisional blok tersebut. Walhasil selama lima tahun ke depan, Parlemen Eropa diperkirakan akan lebih sulit membuat keputusan.
Analis politik Prancis di King’s College London, Dominique Moïsi, kepada Associated Press mengatakan seruan Macron untuk mempercepat pemilu adalah taruhan yang berisiko. Ia membandingkan Macron dengan Barack Obama.
BACA JUGA: Kemenangan Kelompok Sayap Kanan Ekstrem Jadi Pukulan Telak Bagi Macron dan Scholz"Setelah Obama menjalankan dua mandat sebagai presiden, Donald Trump berkuasa. Bagi Obama, hal itu merupakan pukulan besar. Dan saya pikir setelah mendapatkan dua mandat, Macron tidak ingin dihadapkan pada situasi yang sama seperti Barack Obama. Jadi dia mencoba untuk menentukan takdirnya dengan membuat taruhan besar. Saya akan membubarkan Majelis Nasional. Front Nasional akan berkuasa dan Prancis akan menyadari betapa tidak kompetennya mereka, betapa idealisnya mereka, betapa berbahayanya mereka. Saya pikir itu mungkin strategi Macron."
Lebih jauh Moïsi, yang juga Penasihat Khusus di Institut Montaigne, mengatakan, “Prancis tidak memilih wakil-wakilnya di Parlemen Eropa, atau di Majelis Nasional. Mereka memilih untuk mengatakan tidak pada Macron, dan ini suara mayoritas… hmmm relatif mayoritas di kalangan ekstrem kanan di Majelis Nasional, dan konstituen ekstrem kiri yang kuat. Risiko yang diambil Macron sangat besar.”
Pengamat: Publik Lebih Terkejut Lihat Reaksi Macron
Sementara Sophia Russack, analis di Center for European Policy Studies (CEPS) mengatakan justru lebih terkejut melihat reaksi Macron karena menurutnya kemenangan kelompok-kelompok ekstrem kanan itu sudah diperkirakan sebelumnya.
"Kami sudah menduga bahwa partai-partai sayap kanan di Prancis akan meraih suara sangat baik. Namun yang mengejutkan justru reaksi Macron yang menyerukan pemilihan lebih cepat... Kita telah melihat dalam kampanye bagaimana partai-partai sayap kanan mengkampanyekan topik-topik yang benar-benar isu Eropa. Mereka mengangkat pakta imigrasi, agenda hijau dan Green Deal. Dan, Anda tahu, semua dalam narasi 'lihatlah apa yang dilakukan Brussel terhadap Anda dan bagaimana hal itu menjangkau kehidupan hidup Anda dan mereka semakin menyulitkan Anda, untuk mengambil uang misalnya dan seterusnya'. Dan partai-partai arus utama, mereka telah menjadi kambing hitam Brussel begitu lama sehingga tidak dapat menemukan jawabannya. Partai-partai arus utama, partai-partai nasional, tidak mampu membangun narasi yang kuat tentang mengapa Eropa itu baik."
Parlemen Eropa Semakin ke Kanan?
Hingga hari Senin ini sebagian surat suara dalam pemungutan suara Parlemen Eropa masih dihitung, tetapi hasilnya menunjukkan bahwa keanggotaan parlemen blok 27 negara tersebut telah bergeser ke kanan.
Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni meraih lebih dari dua kali lipat kursi bagi partainya di parlemen, dengan memenangkan lebih dari 28% suara di majelis Uni Eropa. Hal ini akan menjadikan partai ini sebagai pemain kunci saat membentuk aliansi di masa depan.
Demikian pula partai ekstrem kanan “Alternative for Germany” (“Alternatif Untuk Jerman”) AfD, yang tetap mengumpulkan kursi yang cukup banyak untuk menyapu bersih Partai Sosial Demokrat pimpinan Kanselir Olaf Scholz yang sedang merosot. Padahal AfD sedang menghadapi skandal yang melibatkan beberapa kandidat partai itu. AfD diproyeksikan meraih suara 16,5% atau berarti jauh lebih besar dibanding pemiu tahun 2019 di mana mereka meraih 11% suara.
Ursula von der Leyen Siap Bicara dengan Kelompok Sosialis & Liberal
Merasakan ancaman dari kelompok-kelompok sayap kanan, Partai Demokrat Kristen yang dipimpin oleh Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen telah bergeser lebih jauh ke kanan dalam hal migrasi dan iklim menjelang pemilihan. Partai ini mendapat imbalan dengan tetap menjadi kelompok terbesar di Parlemen Eropa yang memiliki 720 kursi dan menjadi perantara de facto bagi kekuasaan yang terus meluas di lembaga legislatif itu.
Ursula von der Leyen mengatakan bahwa ia akan berbicara dengan kaum sosialis dan liberal di Parlemen Eropa saat ia mengincar masa jabatan kedua sebagai presiden lembaga eksekutif Uni Eropa, namun ia tidak mengatakan dengan siapa ia akan atau tidak akan membuat kesepakatan. “Partai Rakyat Eropa” yang beraliran tengah-kanan pimpinan von der Leyen mempertahankan posisinya sebagai kelompok terkuat di parlemen dalam pemilihan hari Minggu. Namun, partai ini masih jauh dari mayoritas, dan von der Leyen membutuhkan nominasi dari para pemimpin nasional dan persetujuan dari mayoritas legislatif untuk masa jabatan lima tahun berikutnya sebagai pimpinan Komisi Eropa.
Von der Leyen pada hari Senin mengatakan partainya akan terlebih dahulu mendekati kelompok-kelompok sosialis dan liberal yang sebagian besar mendukungnya selama lima tahun terakhir.
“Bersama-sama kita akan dan dapat membentuk sebuah benteng pertahanan melawan ekstrem kiri dan kanan,” tambahnya.
NR Diproyeksikan Raih 31-32 Persen Suara
Para pemilih di Prancis akan kembali ke TPS dalam tiga minggu ke depan, setelah Macron membubarkan parlemen dan menyerukan untuk mempercepat pemilu. Partai nasionalis “National Rally” (NR) pimpinan Le Pen, yang anti-imigrasi, diperkirakan akan meraih 31%-32% suara. Meskipun kemenangan NR sudah diperkirakan, skala kemenangannya merupakan sebuah kejutan, karena berhasil meraih lebih dari dua kali lipat perolehan suara “Partai Renaisans” pimpinan Macron, yang diproyeksikan meraih sekitar 15% suara. Namun baru pada pertengahan Juli nanti akan ada gambaran yang lebih jelas apakah suara Macron yang melemah ini akan dipaksa untuk bekerja sama dengan pemerintah sayap kanan dalam sebuah “kohabitasi” yang tidak nyaman. [em/lt]