Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi mengatakan pemerintah mencermati rekomendasi dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait penghapusan hukuman mati sebagai implementasi HAM. Namun, wacana penghapusan hukuman mati masih menjadi isu yang menuai pro kontra yang kuat dalam masyarakat Indonesia.
Karena itu, pemerintah berusaha mengambil jalan tengah soal hukuman mati yang dirumuskan dalam Rancangan Undang-Undang KUHP (RKUHP) yang sedang disosialisasikan kembali ke masyarakat.
"Para perumus RKUHP menyepakati mengambil jalan tengah terkait hukuman mati. Hukuman mati tidak dicantumkan di dalam ancaman hukuman pokok. Tetapi dijatuhkan secara alternatif dengan prinsip kehati-hatian," jelas Mualimin dalam diskusi publik secara daring pada Sabtu (12/11).
Isu hukuman mati di Tanah Air mencuat dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) di Markas PBB, Jenewa, Swiss, Rabu (9/11).
Mualimin menambahkan hukuman mati tersebut hanya akan dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Dalam konteks Indonesia, contohnya adalah kejahatan terorisme, korupsi, dan narkoba. Menurutnya, orang-orang yang sudah dijatuhi hukuman mati tersebut yang sudah menjalani hukuman 10 tahun dapat diubah menjadi penjara seumur hidup atau waktu tertentu.
"Nanti mekanisme mungkin akan diatur di dalam peraturan yang lebih rendah seperti peraturan pemerintah. Nanti kita pikirkan jenis peraturan yang bisa mengubah hal ini," tambahnya.
Mualimin mengklaim rencana kebijakan hukuman mati yang menjadi pidana alternatif ini merupakan kemajuan di Indonesia. Sebab, jika pemerintah menghapuskan hukuman mati, maka akan diprotes kelompok yang pro-hukuman mati.
Mualimin menuturkan pemerintah akan membahas berbagai rekomendasi dari sekitar 118 negara di persidangan UPR ke-4 pada pekan depan. Hasil pembahasan tersebut nantinya akan disampaikan pemerintah kepada Dewan HAM PBB.
Pemerintah Dinilai Berkelit
Sebelumnya, Jaringan Anti Hukuman Mati (JATI) menilai pemerintah Indonesia berkelit dari rekomendasi mayoritas negara tentang hukuman mati. Itu terlihat dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang menilai narkotika dan terorisme masih menjadi tantangan sehingga pemerintah masih menerapkan hukuman mati.
"Padahal dalam berbagai instrumen hukum internasional, penerapan hukuman mati tidak pernah dibenarkan, khususnya untuk kasus narkotika," ujar Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar melalui keterangan tertulis yang diterima VOA, Jumat (11/11).
JATI menambahkan dukungan terhadap penghapusan hukuman mati tidak berarti mendukung tindakan kriminal. Apalagi tidak ada bukti ilmiah yang dapat menyatakan bahwa hukuman mati bagi pengedar narkoba atau tindakan kriminal lainnya bisa memberikan efek jera. Data yang disampaikan Menkumham Yasona juga menunjukkan tidak aka korelasi antara ancaman hukuman mati dengan kejahatan yang diberantas seperti narkotika.
Atas dasar itu, JATI menuntut pemerintah untuk menetapkan moratorium penuntutan dan penjatuhan hukuman mati sebagai langkah awal penghapusan hukuman mati. [sm/ah]