Pemerintah didesak untuk intervensi untuk mengendalikan gejolak harga kedelai di tanah air, yang disebabkan oleh terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
JAKARTA —
Dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (7/9), Direktur Budi Daya Kacang dan Umbi Kementerian Pertanian, Maman Suherman mengatakan idealnya memang pemerintah intervensi terkait gejolak harga kacang kedelai yang disebabkan oleh terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.
“Gejolak harga seperti sekarang ini bisa ada intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga dan perlu kedepan ini pertanian investasi," kata Maman Suherman. "Sekarang banyaknya hanya biaya produksi, investasi jangka panjang yang perlu, lahan perkebunan cepat perluasan areanya tapi untuk pangan semakin turun dan untuk penambahannya lambat, nah ini mungkin ada upaya menstabilkan ketersediaan lahan untuk pangan,” lanjutnya.
Menurut anggota Komisi IV DPR RI, komisi yang membidangi masalah pertanian, Firman Subagyo, beberapa komoditas penting diantaranya beras, gula dan kacang kedelai seharusnya dikendalikan pemerintah agar tidak terus terjadi gejolak.
“Masalah pangan ini tidak boleh lagi diserahkan kepada mekanisme pasar. Mari semua elemen bangsa ini untuk melaksanakan undang-undang, tidak hanya kepada ketersediaan pangan tetapi menuju kedaulatan pangan nasional sehingga pangan tersedia bukan atas dasar karena impor tetapi karena produk dari petani,” jelas Firman Subagyo.
Anggota KPPU, Syarkawi Rauf menegaskan, pemerintah tidak perlu terlalu fokus pada target swasembada pangan karena justru akan membuat harga berbagai komoditas bergejolak. Selain itu ditambahkannya KPPU akan tetap tegas terhadap kartel.
“Swasembada ini justru membuat ketersediaan pangan menjadi gonjang ganjing. Akibatnya harga menjadi naik," kata Syarkawi Rauf. "KPPU akan senantiasa fokus pada dua hal, kita akan lihat regulasinya apakah ada kebijakan pemerintah yang berdampak pada perilaku persaingan yang tidak sehat, kemudian kita akan sangat konsisten menyelidiki apakah ada perilaku dari importir, dunia usaha dan lain-lain yang menyebabkan terjadinya praktek bisnis yang anti persaingan itu," tambahnya.
Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI, Rachmat Pambudy berharap pemerintah segera atasi berbagai masalah terkait pangan karena selain menyulitkan masyarakat sebagai konsumen juga membuat petani tidak berdaya.
“Kami juga mengharapkan ada harga yang menguntungkan buat petani, ada jaminan bahwa kalau petani berproduksi ada pihak untuk membeli, kemudian kalaupun ada keinginan untuk impor itu adalah langkah darurat seperti yang diamanatkan oleh undang-undang," kata Rachmat Prambudy.
"Setiap tekanan impor itu akan menyebabkan produksi dalam negeri tidak pernah mencukupi dan menjadi produksi kita kekurangan sampai kita juga minus. Pemerintah ini menetapkan komoditas strategis tidak boleh diperdagangkan tetapi disalurkan, kalau diperdagangkan itu ada pengambilan margin melebihi yang ditetapkan, kemudian transparansi di dalam penetapan kuota, penetapan harga,” tambah Ketua HKTI ini.
Sementara bagi Wakil Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia atau Gakoptindo, Sutaryo, ketergantungan impor kacang kedelai membuat sulit para pengrajin serta pedagang tempe dan tahu.
“Kami dari perajin tempe tahu yang pertama adalah yang dibutuhkan ketersediaan barang kemudian harga relatif stabil, kemudian saya mendukung untuk tidak tergantung impor, maka mulai kita tidak berbicara angka dan data tetapi kita sudah harus memulai bicara realita,” kata Sutaryo.
Pengrajin tempe dan tahu Indonesia berencana akan mogok produksi mulai Senin 9 September 2013, akibat tingginya harga kacang kedelai.
Amerika Serikat merupakan negara pamasok kacang kedelai terbesar bagi Indonesia. Saat ini dari kebutuhan nasional sekitar 2,5 juta ton per tahun, impor dari Amerika sebanyak 60 persen dari kebutuhan tersebut. Saat ini harga kacang kedelai di berbagai daerah sekitar Rp 12 ribu per kilogram, naik dibanding sebelum terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah yaitu sekitar Rp 8.000 per kilogram.
“Gejolak harga seperti sekarang ini bisa ada intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga dan perlu kedepan ini pertanian investasi," kata Maman Suherman. "Sekarang banyaknya hanya biaya produksi, investasi jangka panjang yang perlu, lahan perkebunan cepat perluasan areanya tapi untuk pangan semakin turun dan untuk penambahannya lambat, nah ini mungkin ada upaya menstabilkan ketersediaan lahan untuk pangan,” lanjutnya.
Menurut anggota Komisi IV DPR RI, komisi yang membidangi masalah pertanian, Firman Subagyo, beberapa komoditas penting diantaranya beras, gula dan kacang kedelai seharusnya dikendalikan pemerintah agar tidak terus terjadi gejolak.
“Masalah pangan ini tidak boleh lagi diserahkan kepada mekanisme pasar. Mari semua elemen bangsa ini untuk melaksanakan undang-undang, tidak hanya kepada ketersediaan pangan tetapi menuju kedaulatan pangan nasional sehingga pangan tersedia bukan atas dasar karena impor tetapi karena produk dari petani,” jelas Firman Subagyo.
Anggota KPPU, Syarkawi Rauf menegaskan, pemerintah tidak perlu terlalu fokus pada target swasembada pangan karena justru akan membuat harga berbagai komoditas bergejolak. Selain itu ditambahkannya KPPU akan tetap tegas terhadap kartel.
“Swasembada ini justru membuat ketersediaan pangan menjadi gonjang ganjing. Akibatnya harga menjadi naik," kata Syarkawi Rauf. "KPPU akan senantiasa fokus pada dua hal, kita akan lihat regulasinya apakah ada kebijakan pemerintah yang berdampak pada perilaku persaingan yang tidak sehat, kemudian kita akan sangat konsisten menyelidiki apakah ada perilaku dari importir, dunia usaha dan lain-lain yang menyebabkan terjadinya praktek bisnis yang anti persaingan itu," tambahnya.
Wakil Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI, Rachmat Pambudy berharap pemerintah segera atasi berbagai masalah terkait pangan karena selain menyulitkan masyarakat sebagai konsumen juga membuat petani tidak berdaya.
“Kami juga mengharapkan ada harga yang menguntungkan buat petani, ada jaminan bahwa kalau petani berproduksi ada pihak untuk membeli, kemudian kalaupun ada keinginan untuk impor itu adalah langkah darurat seperti yang diamanatkan oleh undang-undang," kata Rachmat Prambudy.
"Setiap tekanan impor itu akan menyebabkan produksi dalam negeri tidak pernah mencukupi dan menjadi produksi kita kekurangan sampai kita juga minus. Pemerintah ini menetapkan komoditas strategis tidak boleh diperdagangkan tetapi disalurkan, kalau diperdagangkan itu ada pengambilan margin melebihi yang ditetapkan, kemudian transparansi di dalam penetapan kuota, penetapan harga,” tambah Ketua HKTI ini.
Sementara bagi Wakil Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia atau Gakoptindo, Sutaryo, ketergantungan impor kacang kedelai membuat sulit para pengrajin serta pedagang tempe dan tahu.
“Kami dari perajin tempe tahu yang pertama adalah yang dibutuhkan ketersediaan barang kemudian harga relatif stabil, kemudian saya mendukung untuk tidak tergantung impor, maka mulai kita tidak berbicara angka dan data tetapi kita sudah harus memulai bicara realita,” kata Sutaryo.
Pengrajin tempe dan tahu Indonesia berencana akan mogok produksi mulai Senin 9 September 2013, akibat tingginya harga kacang kedelai.
Amerika Serikat merupakan negara pamasok kacang kedelai terbesar bagi Indonesia. Saat ini dari kebutuhan nasional sekitar 2,5 juta ton per tahun, impor dari Amerika sebanyak 60 persen dari kebutuhan tersebut. Saat ini harga kacang kedelai di berbagai daerah sekitar Rp 12 ribu per kilogram, naik dibanding sebelum terjadi fluktuasi nilai tukar rupiah yaitu sekitar Rp 8.000 per kilogram.