Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan komitmen dalam memberantas praktik penangkapan ikan secara ilegal untuk menjaga sumber daya kelautan dan perikanan.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Adin Nurawaluddin mengatakan hal tersebut dibuktikan dengan penangkapan kapal dan para pelaku illegal fishing. Kapal yang ditangkap terdiri dari dua kapal ikan asing berbendera Malaysia dan dua kapal ikan Indonesia.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dua KIA Malaysia ditangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 571 Selat Malaka pada Rabu (8/6) sedangkan Dua KII diamankan di WPPNRI 715 Perairan Pulau Ternate pada Kamis (9/6)," terang Adin melalui rilis, Minggu (12/6/2022).
Adin menjelaskan penangkapan dua kapal asal Malaysia merupakan hasil operasi Kapal Pengawas Perikanan Hiu 01 dengan dukungan dari Pusat Pengendalian KKP. Kapal tersebut telah berada di Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Belawan untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Kata Adin, pihaknya masih mempelajari lebih lanjut terkait pemanfaatan barang bukti kapal seperti disita atau dimanfaatkan untuk nelayan.
Sedangkan untuk kapal ikan Indonesia, ia menuturkan bahwa kedua kapal yang ditangkap beroperasi tanpa dilengkapi Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dan Surat Laik Operasi (SLO). Kedua kapal yang membawa muatan ikan layang dengan total 3 ton ini dihentikan oleh Kapal Pengawas Perikanan Napoleon 055.
“Dalam konteks penangkapan ikan terukur, Perairan di WPPNRI 715 sekitar Pulau Ternate nantinya akan difokuskan menjadi zona nelayan lokal, namun demikian ada regulasi yang harus diikuti termasuk perizinan," tambahnya.
Selama 2022, KKP telah menangkap 79 kapal ilegal yang terdiri dari 8 kapal berbendera Malaysia, 1 kapal berbendera Filipina, dan 68 kapal ikan Indonesia.
Pengawasan Nasional Perlu Ditingkatkan
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap kapal-kapal illegal fishing. Menurutnya, pengawasan Indonesia di tanah air masih 100 hari berlayar per tahun. Jumlah tersebut perlu ditingkatkan menjadi 150-200 hari berlayar per tahun untuk memaksimalkan pengawasan di laut.
"Kapal ikan asing itu juga masih mengancam dan melakukan praktik illegal fishing terutama di laut Natuna. Ini yang menjadi sorotan kita, apakah di Natuna tahun 2022 sudah relatif berkurang atau ditutupi," jelas Abdi Suhufan kepada VOA, Senin (13/6/2022).
Abdi mendapat informasi dari nelayan Natuna masih menjumpai praktik illegal fishing yang dilakukan kapal berbendera asing. Karena itu, pengawasan harus tetap ditingkatkan.
Ia juga menyoroti jumlah kapal ikan Indonesia yang mendominasi penangkapan aparat. Menurutnya, pemerintah perlu melibatkan pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan. Alasannya, izin mencari ikan bagi kapal di bawah 30 gross ton dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sehingga perlu diselaraskan kebijakan pemerintah pusat dengan daerah.
Sementara terkait pemanfaatan kapal yang ditangkap, kata Abdi, pemerintah perlu melihat kasus per kasus. Sebab, tidak semua kapal asing yang ditangkap sesuai dengan kapal yang digunakan nelayan lokal.
"Harus dilihat kondisi kapal. Kalau kapal-kapal itu sudah rusak lebih baik ditenggelamkan," tambahnya.
Selain pencurian ikan, DFW Indonesia juga menyoroti tata kelola perikanan skala kecil. Menurut Abdi, pendataan hasil tangkapan perikanan skala kecil terutama pada kapal ukuran dibawah 30 GT masih minim. Akibatnya pengelolaan perikanan di tanah air kurang transparan. [sm/em]