Direktur Rumah Kita Bersama yang sekaligus peneliti tentang perkawinan anak, Lies Marcoes, kepada VOA mengatakan kemiskinan struktural merupakan faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya praktek perkawinan anak.
Kemiskinan struktural, kata Lies, menyebabkan orang tua harus bermigrasi dan anak dibiarkan menjadi yatim piatu secara sosial serta anak menjadi putus sekolah. Kondisi ini, lanjutnya, di antaranya menyebabkan sang anak tidak memiliki pilihan lain kecuali dipaksa oleh situasi untuk menikah.
Selain itu, praktek perkawinan anak juga terjadi karena dipaksakan untuk kepentingan orang dewasa di sekitarnya seperti atas nama baik, ikatan kekerabatan, karena takut hamil atau memang sudah hamil. Hal ini, menurut Lies, menyebabkan perkawinan bukan menjadi tujuan sebenarnya.
Dia memperkirakan praktek perkawinan anak berjumlah 20 hingga 25 juta, dua pertiga dari perkawinan itu, tambahnya, berakhir dengan perceraian di bawah umur perkawinan satu tahun. Praktek pernikahan anak paling banyak dilakukan oleh anak yang berumur 13, 14 dan 15 tahun, padahal Undang-undang pernikahan mengatur batasan umur bagi orang yang mau menikah minimal 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki.
"Pemaksaannya dalam bentuk mengkondisikan si anak tidak mempunyai pilihan, tidak mempunyai alternative selain kawin. Faktor yang memaksanakan kondisi itu adalah kemiskinan struktural, migrasi besar-besaran perempuan bekerja tetapi tidak ada orangutan pengganti di kampung halamannya," kata Lies Marcoes.
Lebih lanjut Lies Marcoes menegaskan bahwa pemerintah harus melihat kasus praktek pernikahan anak ini sebagai kedaruratan karena praktek ini bukan hanya terjadi di kota tetapi juga di desa dengan masalah yang berbeda-beda. Untuk itu lanjut Lies harus ada upaya yang komprehensif untuk menangani hal ini.
Menurutnya hal utama yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah menyelesaikan persoalan kemiskinan struktural yang menjadi penyumbang terbesar terjadinya praktek perkawinan anak.
Pemerintah maupun masyarakat juga harus memberikan pendidikan sosial dan tidak bleh canggung dalam memberikan informasi dan pendidikan seksual kepada anak dan remaja termasuk bagaimana mereka harus berelasi, menghormati orang lain dalam hal ini laki-laki menghormati perempuan, dan perempuan menghormati dirinya sendiri.
Lies mengatakan perlu pula adanya perubahan pemahaman fiqih perkawinan. Selama ini masyarakat umumnya memandang praktek perkawinan anak dibenarkan oleh pandangan Fiqih perkawinan. Lies menilai, selama ini pemerintah telah lalai dan melakukan pembiaran atas praktek pernikahan anak ini.
Menurutnya permerintah perlu melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap mereka yang berani mengawinkan anak di bawah umur.
Your browser doesn’t support HTML5
"Penegakan hukumnya, menghukum orang-orang yang melanggar Undang-undang perkawinan itu, katakanlah kita menerima 16-19 tahun (Lk) yang di bawah itu masih bantak dimana orang melakukan pemalsuan KTP, menaikkannya menjadi 16 tahun, padahal anaknya masih 14. Lalu perkawinannya masih dikasih pintu darurat, gak papa boleh menikah di bawah 16 tahun tetapi nanti pergi ke pengadilan untuk istbath nikah atau dispensasi nikah," kata Lies Marcoes.
Angola Dewan Perwakilan Rakyat Okky Asokawati mengatakan perlu adanya revisi terhadap undang-undang perkawinan tentang batas umur perkawinan.
"Undang-undang perkawinan menyebut 16 tahun untuk perempuan, 19 tahun untuk laki-laki, sebetulnya kalau dari segi psikologi baik dari segi kematangan fisik masih belum baik. Lebih baik perempuan 21 tahun dan laki-laki 25 tahun," kata Okky Asokawati.
Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi pernah menolak permohonan judicial review atau peninjauan kembali atas Undang-undang Perkawinan khususnya pasal tentang batasan umur perkawinan. Organisasi perempuan ketika itu meminta agar batas umber perkawinan dinaikkan. [fw/lt]