Berbagai komunitas perempuan, termasuk Jaringan Perempuan Yogya (JPY), One Billion Rising, para ibu rumah tangga dan warga dari beragam latar belakang Rabu petang (4/5) berkumpul di Monumen Tugu Yogyakarta selama hampir 3 jam untuk melakukan refleksi dan menunjukkan solidaritas terhadap kasus perkosaan di Bengkulu.
Selain melakukan orasi, para pengunjukrasa ikut bernyanyi bersama kelompok Ranisakustik yang membawakan lagu-lagu bertema ketidakadilan jender. Pada aksi bertema "Bunyikan Tanda Bahaya Untuk Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan," peserta juga membunyikan terompet, peluit dan berteriak, lalu diakhiri dengan menyalakan lilin.
Panitia aksi, Ayu Ningrum mengatakan tujuan utama refleksi tersebut untuk menyadarkan masyarakat bahwa kasus-kasus perkosaan harus dihentikan dan dicegah.
"Ini untuk meningkatkan kesadaran publik, kami mengadakan ini untuk solidaritas mengecam peristiwa (perkosaan) yang di Bengkulu. Di Yogya saja, setiap tahun itu jika dipilah kasus kekerasan seksual minimal 200 kasus terjadi. Yang terakhir di Semanu Gunungkidul ada pelajar SMP juga mati terbunuh setelah mengalami kekerasan seksual," kata Ayu.
Sementara Naomi Srikandi dari Jaringan Perempuan Yogya mengatakan aksi itu merupakan bentuk simpati dan empati untuk YY dan korban kekerasan seksual lainnya.
"Yang paling penting sih kenapa banyak korban kekerasan seksual itu sedikit sekali yang ada solusi keadilan yang bener-bener adil. Itu kan karena masyarakat sendiri tidak punya kesadaran bahwa itu perkosaan. Setiap kali ada peristiwa menjadi momentum untuk menyuarakan bahwa ini, YY itu tidak sendirian. YY adalah kita, ini aksi keprihatinan, simpati kami, empati kami paling dalam untuk YY dan untuk korban-korban kekerasan seksual yang lain dan kasus ini mengingatkan kita bahwa kita harus terus-menerus mengasah rasa kemanusiaan kita," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Nurhasyim dari Aliansi Laki-laki Baru mengatakan kekerasan seksual merupakan persoalan perempuan maupun laki-laki. Ia menegaskan pentingnya mendidik laki-laki supaya lebih menghargai kesetaraan dan mengubah pandangan patriarki bahwa laki-laki adalah pihak yang lebih dominan daripada perempuan.
Nurhasim mengatakan, "Kita laki-laki tidak setuju dengan perkosaan. Kita sekarang mesti beranjak untuk melihat pelaku, laki-laki; mengedukasi laki-laki sejak dini bahwa menghargai perempuan itu penting. Kalau menyakiti perempuan, mendiskriminasi perempuan dan melakukan kekerasan terhadap perempuan itu bukan cara untuk menjadi laki-laki. Menjadi laki-laki adalah menghormati sesama manusia termasuk perempuan dan juga memberikan ketrampilan kepada laki-laki untuk memiliki ketrampilan dalam ber-relasi."
Peserta aksi juga menuntut proses hukum yang adil untuk kasus YY dengan mendesak pemerintah dan DPR agar segera meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan menjamin penegakan hukum yang lebih tegas. Negara juga didesak untuk menjamin terselenggaranya pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif bagi seluruh warga negara.
Di depan peserta aksi, Nurhasyim mengajak masyarakat untuk senantiasa menentang kekerasan seksual terhadap perempuan dengan memulai dari hal-hal kecil termasuk tidak memposting gambar-gambar tubuh perempuan secara vulgar di media sosial.
"Kita berhenti mengeluarkan joke tentang poligami di grup-grup WhatsApp dan dimanapun karena untuk melawan kekerasan harus kita mulai dari hal-hal yang kecil. Artinya kita memulai anti perkosaan dari pikiran kita, dari sikap kita dan dari perilaku kita," ujarnya.
Aksi solidaritas kasus YY juga dihadiri sejumlah mahasiswa asal Bengkulu di Yogyakarta. [ms/em]