Peraturan Presiden (Perpres) RI nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden nomor 82 tahun 2018 tentang jaminan kesehatan, menambah beban baru bagi pemerintah daerah. Mereka harus menjamin premi bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) melalui skema Anggaran Penerimaan dan Belanda Daerah. Penambahan beban akibat kenaikan premi itu bukan angka kecil. Kepala Dinas Kesehatan DI Yogyakarta, Pembayun Setyaning Astutie mencatat beban mereka akan naik hingga Rp 80 miliar.
“Ini akan menjadi beban APBD 1 maupun APBD 2. Menurut hitungan kami, kalau premi jadi dinaikkan, maka kami akan kekurangan dana sekitar Rp 80 Miliar di tahun 2020. Oleh karena itu, kalaupun preminya naik, kami berharap naik bertahan. Karena Kabupaten/Kkota dan Provinsi harus menata kembali anggaran yang harus disediakan untuk kesehatan, khususnya membayar premi,” ujar Pembayun.
Data itu disampaikan Pembayun dalam pertemuan dengan Komisi IX DPR RI di Yogyakarta, Jumat (15/11) pagi. Hadir pula perwakilan dari BPJS dan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) DIY.
Your browser doesn’t support HTML5
DIY memiliki penduduk 3,5 juta jiwa. Dari jumlah itu, 1,9 juta jiwa lebih dijamin kepesertaannya dalam BPJS melalui skema PBI, baik lewat APBD maupun APBN.
Dinas Kesehatan DIY punya hitung-hitungan terkait dampak kenaikan premi BJPS. Perkiraan mereka, akan ada sekitar 200 ribu peserta yang berhenti. Peserta kelas satu akan melakukan peralihan massal ke kelas lebih rendah. Anggaran BPJS di tiap keluarga yang jumlahnya sama, kali ini harus dipakai membayar premi lebih mahal. Karena itu, turun kelas menjadi satu-satunya pilihan. Sekitar 50 persen peserta kelas 1 akan turun, sedangkan di kelas 2 penurunan terjadi pada 40 persen peserta.
DIY sudah mempersiapkan strategi tambahan tahun depan. Masyarakat miskin yang tidak mampu membayar premi tahun depan, akan ditanggung pengobatan dalam satu kesempatan. Setelah itu, dia akan disalurkan agar dapat ditanggung oleh pemerintah kabupaten atau kota sebagai peserta BPJS yang preminya ditanggung APBD.
BACA JUGA: BPJS Kesehatan: Ketika Masyarakat Miskin Membantu Kelompok MampuPembayun meminta, potensi persoalan yang dihadapi daerah didengarkan pemerintah pusat. Jika terjadi kelebihan beban, daerah juga yang pertama kali menerima protes masyarakat, dan harus mencarikan jalan keluar untuk mereka.
BPJS Menunggak Pembayaran
Kepala BPJS Kesehatan Cabang Yogyakarta, Dwi Hesti Yuniarti dalam pertemuan ini mengaku, penurunan kelas peserta memang terjadi. Namun jumlahnya saat ini tidak terlalu signifikan. Pihaknya juga terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk meminimalisir dampak Perpres baru.
Dari lima daerah di DIY, baru Kota Yogyakarta saja yang sudah menyesuaikan besaran premi BJPS sesuai Perpres baru di dalam APBD mereka. Empat kabupaten belum membuat perhitungan dengan angka baru. Perubahan anggaran akan dilakukan di pertengahan tahun.
Selain itu, untuk mengurangi beban daerah, kata Hesti, dilakukan pula verifikasi lebih dalam terkait status kepesertaan. Dari upaya ini, di Kabupaten Bantul saja ditemukan sekitar 25.000 nama yang bisa diusulkan untuk menjadi beban APBN tahun depan. Di Kabupaten Gunungkidul, jumlahnya lebih besar lagi, mencapai 78.000 peserta. Dengan verifikasi ini, beban daerah dapat dikurangi.
Hesti juga menyebut, saat ini mereka masih memiliki kewajiban pembayaran untuk rumah sakit di seluruh DIY sebesar lebih dari Rp 281 miliar.
BACA JUGA: Iuran BPJS Kesehatan Naik 100 Persen, Jokowi Minta Rakyat Mengerti“Terkait klaim, sampai saat ini kami sudah pembayaran klaim jatuh tempo tanggal 21 agustus 2019. Rata-rata klaim yang sudaha kami bayarkan, adalah klaim pelayanan bulan Juli. Untuk klaim wilayah kami, yang sudah jatuh tempo tetapi belum bisa kami bayarkan itu ada Rp 281.828 279.367. Ini sudah masuk di keuangan, tinggal menunggu pembayaran. Nanti kalau sudah ada dropping dana langsung kami bayarkan. Klaim lain masih dalam proses verifikasi,” kata Hesti.
Rumah Sakit Menjerit
Lambatnya pembayaran klaim rumah sakit itu menjadi masalah tersendiri. Sekretaris Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) DIY, Maria Stephani Nainggolan dengan tegas mendukung kenaikan premi BJPS. Kenaikan itu diharapkan bisa turut memperbaiki kondisi keuangan rumah sakit, yang terbebani kelambatan pembayaran klaim.
Maria menegaskan, banyak rumah sakit di DIY menjerit karena lambatnya pembayaran klaim. Rumah sakit swasta, yang biaya operasionalnya tergantung pendapatan dari layanan, mengalami beban lebih besar. Di bulan November ini, ada rumah sakit yang belum dibayar tagihan Bulan Maret atau Juni lalu. Pemerintah pernah menyarankan agar rumah sakit meminjam dana ke bank. Menurut Maria, jalan keluar itu sangat sulit ditempuh karena tidak ada dasar hukumnya.
“Pembayaran utang kepada pihak ketiga, terutama untuk obat dan sebagainya, mengalami hambatan. Sehingga kalau disampaikan, bahwa rumah sakit tidak menyediakan obat, bukan tidak menyediakan, tetapi vendor tidak mengirimkan barang, kalau pembayaran sebelumnya belum dilunasi,” ujar Maria.
Maria menambahkan, banyak kajian sudah dilakukan oleh perguruan tinggi dan Persi sendiri terkait kenaikan premi BPJS. Karena itu sikap mereka jelas, yaitu mendukung kenaikan itu. Defisit yang dialami pemerintah dalam membayar klaim rumah sakit akan semakin membengkak jika langkah ini tidak segera diterapkan.
DPR Dorong Sumber Alternatif
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Emanuel Melkiades Laka Lena menyatakan, DPR masih dalam posisi menolak kenaikan premi BPJS. Dia mengatakan, kalaupun pemerintah tetap menaikkan, ada skema pembayaran untuk kelas 3 di mana subsidi diberlakukan. Dia meyakini, peserta kelas 1 dan 2 cukup mampu mengatasi kenaikan.
Namun, tambah Melkiades, masih ada waktu hingga Januari 2020 yang bisa dimanfaatkan DPR bersama pemerintah untuk mencari alternatif pembiayaan. Komisi IX bersama komisi lain di DPR, Kemenkes dan BPJS terus berkoordinasi untuk langkah itu.
“Sebenarnya ada banyak cara pembiayaan bisa dilakukan pemerintah. Kemarin pemerintah mencoba melalui menaikkan cukai rokok untuk menutup defisit, atau mungkin bisa cara cara lain. Sebagaimana pembangunan infrastruktur dilakukan dengan proses realokasi anggaran, saya kira untuk urusan rakyat miskin ratusan juta ini, mengalokasikan anggaran Rp 4 triliun, saya kira bukan hal sulit bagi pemerintah,” ujar Melkiades.
Presiden Sidak RS di Lampung
Presiden Joko Widodo sendiri Jumat siang (15/11) melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek di Bandar Lampung. Jokowi ke Lampung sedianya meresmikan beberapa proyek infrastruktur pemerintah.
“Ini kunjungan mendadak, saya enggak memberi tahu ke siapapun,” kata Jokowi seperti disampaikan Biro Pers Sekretariat Presiden.
Jokowi mengunjungi instalasi rawat jalan RSUD tersebut dan bertanya langsung kepada sejumlah pasien yang ada di lokasi. Dia mengatakan, ingin memastikan apakah Kartu BPJS betul-betul dipegang pasien.
BACA JUGA: Pemerintah, BPJS Kesehatan Diminta Berbenah Sebelum Naikkan Iuran KepesertaanPresiden menerangkan, peserta BPJS Kesehatan terbesar merupakan berasal dari kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai APBN. Data BPJS Kesehatan per 31 Oktober 2019 menyebut, 96.055.779 peserta BPJS Kesehatan yang dibiayai APBN. Sementara peserta kategori PBI APBD mencapai 37.887.281. Artinya, lebih dari 133 juta peserta BPJS Kesehatan atau 60 persen total kepesertaan yang mencapai 222.278.708 ditanggung negara.
“Kita ini kan sudah bayari yang 96 juta peserta, dibayar oleh APBN. Tetapi di BPJS terjadi defisit, itu karena salah kelola saja. Artinya apa? Yang harusnya bayar pada enggak bayar. Artinya di sisi penagihan yang mestinya diintensifkan,” tambah Presiden. [ns/ab]