Kepolisian Paling Banyak Dilaporkan ke Komnas HAM Sepanjang 2022

  • Nurhadi Sucahyo

Seorang petugas polisi berjaga di luar gedung Pengadilan Negeri Jakarta Timur saat persidangan ulama Rizieq Shihab digelar di Jakarta, pada 27 Mei 2021. (Foto: Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)

Kasus-kasus kekerasan di Papua, termasuk mutilasi empat warga oleh anggota TNI, mendapat cukup banyak sorotan di Tanah Air sepanjang 2022. Dari sisi jumlah, Komnas HAM mencatat, kepolisian merupakan lembaga yang paling banyak diadukan oleh masyarakat.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan institusi kepolisian adalah pihak yang paling sering diadukan masyarakat pada tahun ini. Data tersebut dipaparkan Uli Parulian Sihombing, komisioner sekaligus koordinator sub komisi penegakan HAM, Komnas HAM.

“Tiga besar pihak yang merupakan teradu, yang ditangani melalui mekanisme pemantauan dan penyelidikan adalah kepolisian dengan 232 kasus, koperasi atau perusahaan dengan 75 kasus, dan pemerintah pusat 54 kasus,” ujar Uli dalam konferensi pers Refleksi Penegakan HAM di Indonesia tahun 2022, Sabtu (10/12).

Sementara tiga hak yang paling banyak dilanggar adalah hak untuk memperoleh keadilan, hak atas kesejahteraan dan hak atas rasa aman. Lima wilayah dengan kasus terbanyak adalah Sumatra Utara, disusul DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten.

Seorang petugas polisi memasang garis penjagaan selama penyelidikan, menyusul ledakan di sebuah kantor polisi distrik, yang menurut pihak berwenang merupakan dugaan bom bunuh diri, di Bandung, Jawa Barat. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Sepanjang 2022, kata Uli, Komnas HAM telah menerima 5.306 berkas pengaduan terkait dugaan pelanggaran HAM. Dari jumlah berkas tersebut, 2.577 kasus di antaranya adalah dugaan pelanggaran HAM, dengan 1.019 kasus yang dilanjutkan penanganannya.

Komnas HAM sendiri telah menangani 534 kasus melalui mekanisme pemantauan dan penyelidikan, melalui mediasi 257 kasus dan sisanya dalam proses analisis aduan.

Papua dan TPP HAM

Abdul Haris Semendawai. (VOA/Muliarta)

Sementara Komisioner Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai, secara khusus memberi perhatian terhadap kasus di Papua. Sebagaimana diberitakan pada Kamis (8/12), Pengadilan HAM Makassar telah menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai, Papua. Abdul Haris menyebut hari itu sebagai Kamis kelabu bagi penegakan HAM di Indonesia.

“Putusan bebas terhadap terdakwa kasus Paniai oleh pengadilan HAM, telah memupus harapan dan kepercayaan publik dan secara khusus korban, terhadap penyelesaian pelanggaran HAM berat, melalui pengadilan HAM,” ujarnya.

Aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta hari Rabu (17/12) untuk mendesak pemerintah mengusut tuntas pelaku penembakan di Paniai, Papua (foto: VOA/Fathiyah).

Abdul Haris bahkan menyebut, pengadilan HAM terkesan menjadi kuburan harapan untuk mendapat keadilan dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat. Karena itulah, Komnas HAM mendesak Jaksa Agung segera melakukan upaya kasasi. Kejaksaan juga diminta mengajukan komandan dan pihak yang bertanggung jawab secara komando atau pengendalian efektif terhadap pasukan, dalam peristiwa tersebut ke meja hijau. Tidak terkecuali, pelaku-pelaku lapangan dalam peristiwa pelanggaran HAM berat Paniai.

Komnas HAM juga menyinggung pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (TPP-HAM) oleh Presiden Joko Widodo melalui Keppres Nomor 17/2022.

“Komnas HAM telah menyatakan kesediaan sesuai permintaan dari TPP HAM, untuk membantu TPP HAM sepanjang tidak menutup peluang, penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yusidial,” tambah Uli.

BACA JUGA: Terdakwa Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai Divonis Bebas

Selain itu, prinsip yang harus dipegang adalah tidak melanggar mekanisme pro justisia, serta memastikan jaminan kerahasiaan dan keamanan korban pelanggaran HAM berat.

Komnas HAM mengeluarkan dua rekomendasi terkait hal tersebut. Pertama, pemerintah harus memperkuat dukungan terhadap proses penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM. Kedua, kejaksaan agung harus bekerjasama dengan Komnas HAM, untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Rekomendasi ketiga, tim penyelesaian pelanggaran HAM non-yudisial harus melaksanakan tugas, guna mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan merekomendasikan pemulihan yang konkret dan bermartabat bagi korban.

Catatan untuk KUHP

Anis Hidayah. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)

Khusus untuk KUHP yang baru saja disahkan, Komnas HAM juga menyampaikan sejumlah catatan, seperti disampaikan komisioner Anis Hidayah yang sekaligus merupakan koordinator sub-komisi pemajuan HAM.

“Banyak ketentuan di dalam KUHP dikhawatirkan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia, beberapa di antaranya adalah ketentuan tentang unjuk rasa dan demonstrasi, pasal 256. Ketentuan tentang aborsi, pasal 466 dan 467, yang berpotensi mendiskriminasi perempuan,” kata Anis.

Selain itu, ada pula pasal terkait tindak pidana penghinaan kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden pada pasal 218, 219 dan 220. Tindak pidana penyiaran atau penyebaran berita atau pemberitahuan palsu pada pasal 263 dan 264. Serta kejahatan terhadap penghinaan kekuasaan dan lembaga negara pada pasal 349 dan 350.

Unjuk rasa menentang undang-undang pidana baru Indonesia di Yogyakarta, Selasa, 6 Desember 2022. (Foto: AP)

“Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekpresi, berserikat dan berpartisipasi dalam kehidupan budaya, sebagaimana dijamin dalam pasal 28e UUD 1945 dan covenant internasional hak ekonomi, sosial dan budaya,” tambah Anis.

Korporasi dan Agraria

Komisioner Prabianto Mukti Wibowo secara khusus menyoroti masalah dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi, yang semakin meningkat.

“Selama 2022 ini, Komnas HAM mencatat aduan terhadap korporasi ini menempati urutan kedua. Dan tentunya aduan-aduan yang paling banyak disampaikan berkaitan dengan masalah konflik agraria, ketenagakerjaan, maupun pelanggaran-pelanggaran hak dari kelompok marginal, baik perempuan, anak-anak maupun masyarakat hukum adat,” kata Prabianto.

Seorang anggota serikat buruh mengenakan ikat kepala bertuliskan "batalkan UU Cipta Kerja" dalam demo memprotes perubahan aturan ketenagakerjaan saat Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi UU Cipta Kerja, di Jakarta, Senin, 25 November 2021. (Foto: Reuters)

Isu ini menjadi perhatian Komnas HAM karena semakin menguatnya peran korporasi dalam pembangunan akan membawa konsekuensi terhadap potensi pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM yang dilakukan pihak korporasi bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah sepakati di tingkat nasional maupun internasional.

“Komnas HAM akan lebih memfokuskan pada penyelesaian mekanisme mediasi karena menjadi langkah paling mudah dan paling murah serta cepat prosesnya, di dalam rangka membela hak-hak masyarakat. Pada saat mereka harus berhadapan dengan kekuatan korporasi ataupun kekuatan negara,” tegas Prabianto.

Soal pelanggaran HAM di sektor agraria juga cukup menonjol, seperti disampaikan komisioner Hari Kurniawan

BACA JUGA: Ombudsman: Persoalan Agraria Menjadi Laporan Tertinggi Masyarakat

“Salah satu penyebabnya, adalah kebijakan dan tata kelola agraria yang masih banyak mengabaikan dan melanggar HAM. Kasus-kasus yang diajukan berupa pembunuhan, kekerasan, intimidasi, perampasan pekerjaan, penyerobotan tanah, hingga penghilangan identitas,” ujar Hari.

Kinerja Komnas HAM telah membantu penetapan hutan adat seluas 148.488 hektare hingga akhir 2022. Selain itu, Komnas HAM juga menyusun standar norma dan pengaturan tentang HAM atas tanah dan sumber daya alam.

Komnas HAM sendiri telah memberikan rekomendasi terkait isu agraria dan sumber dalam alam kepada pemerintah. Pemerintah diimbau mengambil langkah lebih lanjut dengan memperbaiki tata kelola agraria di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Badan Umum Milik Nasional dan kementerian atau lembaga negara terkait lainnya. [ns/ah]