Keputusan Menteri Susi Sebaiknya Disempurnakan, Bukan Dicabut

  • Nurhadi Sucahyo

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bertemu nelayan di Jepara, Jawa Tengah (5/9). (Dok. Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Puluhan organisasi nelayan menuntut pencabutan aturan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

Bagi Sutrisno, nelayan yang tinggal di Sumatera Utara, menangkap ikan tidak pernah semudah saat ini. Dia bahkan berani memastikan, pendapatan nelayan kecil di kawasan ini naik minimal dua kali lipat dalam beberapa bulan terakhir.

Bagaimana tidak, ikan kini melimpah di laut dan harga jual terjaga. Semua itu tidak terlepas dari aturan yang dibuat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, termasuk pelarangan menggunakan alat tangkap merusak seperti cantrang dan trawl atau pukat harimau.

Alat penangkap ikan yang dipakai oleh kapal-kapal besar itu telah mengeruk ikan di laut tanpa pandang bulu. Yang menyedihkan, kapal-kapal ini beroperasi di kawasan yang sama dengan para nelayan kecil.

“Penghasilan nelayan ini sekarang meningkat. Memang, menurut kami kebijakan Ibu Susi berpihak kepada kepentingan nelayan dan juga kepentingan ekosistem pesisir. Kita sudah bertahun-tahun merasakan dampak dari pengoperasian cantrang atau trawl dan sejenisnya," ujarnya.

"Selama ini yang menghabiskan sumber daya ikan adalah pengusaha besar yang tidak berpikir soal kelestarian lingkungan. Cuma berpikir bagaimana mengeruk hasil sebesar-besarnya dari laut.”

Namun ternyata kebijakan itu tidak melegakan seluruh pihak. Hari Senin lalu (19/9), serombongan nelayan bersama sejumlah pengusaha bidang perikanan laut bertemu dengan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Sumber Dyaa Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta.

Mereka menuntut pencabutan sejumlah aturan yang ditetapkan Menteri Susi, khususnya larangan pengoperasian kapal cantrang dan pukat harimau.

Kepada media, seusai bertemu dengan Luhut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Bidang Perikanan, Yugi Prayanto mengatakan, pihaknya meminta pemerintah meninjau aturan soal larangan penggunaan alat tangkap cantrang dan larangan transhipment atau alih muatan di tengah laut.

Yugi beralasan, pelarangan itu merugikan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Luhut sendiri berjanji akan membicarakan hal itu dengan Menteri Susi. Dia juga menggarisbawahi, bahwa dirinya tidak mungkin langsung bisa menyetujui tuntungan kalangan pengusaha perikanan itu.

Budi Laksana, ketua Serikat Nelayan Indonesia justru bersikap sebaliknya. Budi, yang juga seorang nelayan di Cirebon, Jawa Barat, menganggap berbagai keputusan Menteri Susi adalah berkah.

Keputusan itu hanya merugikan bagi pengusaha pemilik kapal besar di atas 30 ton bruto. Karena itu, Budi meminta Luhut tidak hanya mendengar keluhan satu pihak, terutama pengusaha besar perikanan, tetapi juga mendengar langsung masukan nelayan kecil.

“Kelompok yang kemarin bertemu dengan Menko Maritim itu adalah yang menolak pelarangan cantrang. Bagi kami Serikat Nelayan Indonesia yang anggotanya adalah nelayan kecil, justru diuntungkan dengan kebijakan Ibu Susi, karena cantrang ini merusak dan juga lebih bayak mengambil ikan kecil yang justru merugikan nelayan kecil," kata Budi.

Your browser doesn’t support HTML5

Keputusan Menteri Susi Sebaiknya Disempurnakan, Bukan Dicabut

Akhir pekan lalu, Susi menerima Leaders for a Living Planet Awards dari organisasi pelestarian lingkungan World Wide Fund for Nature (WWF) Internasional.

Penghargaan yang diberikan di Washington itu karena komitmen dan konsistensi Susi dalam menjaga kedaulatan dan keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia melalui kebijakan pemberantasan praktik perikanan yang tidak sah, tidak diatur dan tidak dilaporkan (Illegal, Unregulated and Unreported Fishing/IUUF).

Dalam siaran persnya, WWF Indonesia menilai, selama karirnya sebagai menteri Susi telah menerbitkan kebijakan-kebijakan untuk melindungi kesehatan laut, termasuk meratifikasi perjanjian ukuran pelabuhan (Port State Measures Agreement), memperkenalkan ukuran tangkap minimum untuk beberapa biota, melarang penggunaan alat tangkap perikanan yang merusak lingkungan, menetapkan kawasan konservasi perairan, dan mendorong perlindungan spesies laut.

Sekretaris Jendral Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim kepada VOA mengatakan, Susi memang menelurkan sejumlah peraturan yang mendukung keberlangsungan perikanan laut Indonesia. Peraturan itu sebenarnya sudah cukup lama ada, tetapi tidak pernah dipraktikkan dengan tata kelola yang lebih nyata.

Keputusan Menteri Susi juga dinilai memperbaiki kehidupan nelayan, dan iklim bisnis perikanan. Larangan cantrang dan pukat harimau adalah untuk ketersediaan ikan dalam jangka panjang. Sedangkan larangan peralihan muatan di tengah laut dimaksudkan agar ada proses pengolahan dahulu sebelum diekspor.

Membawa ikan dari tengah laut Indonesia langsung ke luar negeri tentu sangat merugikan. Namun, Abdul Halim juga menggarisbawahi, bahwa memang ada sejumlah penyempurnaan yang harus diambil Menteri Susi.

Misalnya, pemerintah bisa memfasilitasi pertemuan pengusaha perikanan dengan pihak perbankan karena banyak dari mereka memiliki kredit dalam pembelian alat tangkap cantrang.

“Secara umum kebijakannya sangat baik, hanya solusi jangka panjang juga dibutuhkan dalam penerapan aturan-aturan itu, karena dampaknya sangat besar. Kementerian Kelautan dan Perikanan harus mengevaluasi diri, bukan dalam rangka menganulir aturan-aturan yang sudah baik. Tetapi memperkuat aturan yang sudah baik itu dengan solusi-solusi jangka panjang, karena yang menjadi stakeholder (pihak berkepentingan) dari aturan itu adalah saudara kita sendiri, sebangsa dan setanah air," ujarnya.

Hasil kajian WWF-Indonesia menyebutkan hanya sekitar 18-40 persen hasil tangkapan pukat harimau dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi. Sedangkan 60-82 persen adalah tangkapan sampingan (bycatch) atau tidak dimanfaatkan (discard).

Sebagian besar hasil tangkapan ini pun dibuang ke laut dalam keadaan mati. Alat tangkap ini juga merusak terumbu karang berukuran kecil, membunuh potensi laut masa depan karena menangkap ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya dalam berbagai ukuran.