Sekitar seratus kaum ibu anggota tiga sekolah perempuan di bantaran Kali Ciliwung, Jakarta, tetap bersemangat meskipun seorang peserta pingsan sebelum upacara dimulai. Acara ini berlangsung hari Kamis (17/8) di sebuah gelanggang olahraga di kawasan Jalan Otista, Jakarta Timur.
Peserta upacara ini kebanyakan ibu berumur paruh baya, bahkan ada yang sudah lanjut usia. Mereka - berpakaian merah putih - sebagian besar berprofesi non-formal, seperti buruh cuci, pedagang kecil, dan pembantu rumah tangga.
Selain anggota Sekolah Perempuan dari kelurahan Bidara Cina, Jatinegara kaum, dan Rawajati, upara memperingati hari lahir negara Indonesia ke-72 tersebut juga dilangsungkan di wilayah-wilayah yang telah didirikan Sekolah Perempuan, yaitu di Gresik (Jawa Timur), Pangkajene dan Kepulauan Pangkep (Sulawesi Selatan), Lombok Timur dan Lombok Utara (Nusa Tenggara Barat), Kupang (Nusa Tenggara Timur), serta Padang (Sumatera Barat).
Dalam upacara itu, Koordinator Sekolah Perempuan Bidara Cina, Ning Setyani membacakan ikrar perempuan. Dia menyatakan perempuan Indonesia menentang segala bentuk penundukan terhadap perempuan, terutama penundukan yang menggunakan ajaran-ajaran dan tafsir agama sepihak untuk memecah belah bangsa, melalui politik sara (suku, agama, ras, dan antar golongan) yang pada akhirnya mengancam kedaulatan dan kemerdekaan perempuan.
“Kami menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan negara. Kami melawan segala bentuk tindakan yang menjadikan perempuan sebagai alat dan obyek politik untuk mendapatkan kekuasaan," ujar Ning Setyani.
Kepada VOA, Ning menjelaskan di Sekolah Perempuan kaum hawa mempelajari banyak hal, seperti kesetaraan gender, politik, hukum, dan lingkungan. Dia menambahkan Sekolah Perempuan di Bidara Cina sudah beroperasi sejak April 2013.
Lebih lanjut Ning mengatakan, kebanyakan murid di Sekolah Perempuan Bidara Cina adalah ibu rumah tangga, pembantu rumah tangga, pedagang, penjahit. Ada juga yang buta huruf dan putus sekolah. Dia menekankan tujuan pendidikan di Sekolah Perempuan adalah untuk memberdayakan kaum hawa dalam mengentaskan kemiskinan.
Ning mengklaim setelah mengikuti pendidikan di Sekolah Perempuan, kaum hawa mulai berani mengutarakan persoalan pribadi mereka, seperti kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Ning, pendidikan di Sekolah Perempuan tidak memiliki batas waktu selama peserta berminat mengikuti. Pendidikannya digelar sebulan sekali dan tanpa dipungut biaya.
Your browser doesn’t support HTML5
Selama 72 tahun Indonesia merdeka, menurut Irma Suryani Chaniago, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Nasional Demokrat pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan masih menjadi masalah serius.
“Pelecehan seksual itu bukan menjadi tanggung jawab pemerintah semata tapi menjadi tanggung jawab setiap individu yang ada di Indonesia. Yang perempuan harus menjaga kehormatannya, yang laki-laki tolong dong hormati kaum perempuan. Perempuan itu anakmu, kekasihmu, istrimu, nenekmu. Makanya saya bilang hanya laki-laki yang bodoh dan tidak berpendidikan sajalah yang mampu memempatkan perempuan dalam posisi terdiskriminasi, terabaikan, dilecehkan," tandas Irma Suryani.
Wakil Ketua Institut KAPAL Perempuan Budis Utami memandang perlindungan dan penegakan hak-hak perempuan di Indonesia saat ini makin mundur. Dia mengutip data dari Badan Pusat Statistik yang menyebut angka kekerasan dalam keluarga terhadap perempuan kian naik dan angka perwakilan perempuan di parlemen kian melorot.
Lebih lanjut Budis Utami menjelaskan Presiden Joko Widodo harus mendorong pengesahan Rancangan Undang-undang Kesetaraan dan Keadilan Gender.
"Karena itu akan menjadi payung hukum sebenarnya untuk kebijakan-kebijakan peerempuan di bawahnya. Meskipun sudah ada Cedaw, kadang banyak kebijakan itu tidak mengintegrasikan konvensi cedaw yang sudah menjadi undang-undang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan," tukasnya. [fw/ii]