Lebih dari 700 juta perempuan di seluruh dunia saat ini menikah saat masih anak-anak, demikian data UNICEF tahun 2016. Perkawinan dini dan dipaksakan ini menjadi masalah di hampir seluruh belahan dunia, tanpa membedakan negara, kebudayaan, tradisi, agama dan etnis.
Tetapi UNICEF mendapati bahwa agama, tradisi, kemiskinan, ketidaksetaraan jender dan ketidakamanan karena konflik menjadi alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak.
Yang lebih memprihatinkan, di negara-negara berkembang bahkan satu dari tiga perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun.
Perkawinan Anak di Indonesia Tertinggi Ketujuh di Dunia
Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia, dimana satu dari lima perempuan Indonesia yang berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.
“Di Indonesia, yang mengerikan karena ada UU yang seakan menjamin apa yang disebut sebagai “pedofil yang dilegalkan,” ujar aktivis Koalisi 18+, Supriyadi Widodo Eddyono.
Undang-undang yang dirujuk aktivis Koalisi 18+ Supriyadi Widodo Eddyono itu adalah UU Perkawinan tahun 1974 pasal 7 ayat 1 dan ayat 2, tentang batas usia perkawinan. Pada pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa “perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun.” Sementara pasal 7 ayat 2 menyatakan “dalam hal penyimpangan terhadap ayat 1 pasal ini maka dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.”
Judicial Review UU Perkawinan Gagal
Upaya melakukan kajian ulang atau judicial review kedua pasal dalam UU Perkawinan ini ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2014 menemui jalan buntu.
“Upaya ini gagal karena pemerintah khawatir isunya ditarik menjadi isu politik agama, yaitu keberadaan syariat Islam. Keterangan para ahli hukum dan putusan MK menunjukkan kuatnya tentangan dari kelompok-kelompok agama, yaitu bahwa menikah merupakan sesuatu yang dianjurkan agama, tidak boleh diganggu gugat dan melarang orang untuk menikah berarti melanggar ajaran agama karena menimbulkan zina dsbnya.
MK secara politis mengatakan ini bagian dari open-legal-policy yang harus digagas pemerintah dsbnya. MK tidak melihat bahwa perkawinan anak ini merupakan sesuatu yang sudah darurat,” papar Supriyadi Eko Widodo.
Lebih 80 Negara Dukung Resolusi PBB tentang Perkawinan Anak
Dewan HAM PBB mulai hari Senin (10/7) akan membahas resolusi tentang perkawinan anak pada usia dini dan dipaksakan, dengan mengkaji masukan dan dukungan dari berbagai pihak. Sejauh ini resolusi yang digagas oleh Belanda dan Sierra Leone itu didukung lebih dari 80 negara, yang sebagian besar memiliki tingkat perkawinan anak sangat tinggi, antara lain Chad, Mozambique dan Malawi.
Di Indonesia, lebih dari 80 organisasi madani dan 300-an tokoh menandatangani seruan yang digagas Koalisi 18+, yang mendesak pemerintah Jokowi supaya ikut mendukung resolusi tersebut.
Mereka juga menyampaikan keprihatinan terhadap kerancuan sikap pemerintah Indonesia. Mereka menilai di satu sisi pemerintah melindungi anak dari tindakan kekerasan dan penganiayaan seksual lewat UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 dan kemudian disahkan DPR menjadi undang-undang; tetapi disisi lain pemerintah dinilai tidak mengambil kebijakan strategis untuk mengakhiri perkawinan anak, yang jelas-jelas merupakan bentuk resmi tindakan kekerasan dan penganiayaan seksual.
“Kita membiarkan anak kita berjuang sendiri, tanpa ada yang menemani. Pendidikan seksual gak boleh. Layanan kontrasepsi gak diberikan. Penjelasan mengenai tubuh dan hak mereka melindungi tubuh tidak ada.
Jadi bagaimana? Kita tidak bisa menyalahkan orang tua tentang sikap untuk selalu ingin menjaga keperawanan anaknya, yang dinilai begitu tinggi dalam tradisi dan nilai-nilai keluarga.
Padahal jika keperawanan dianggap sebagai sesuatu yang penting, seharusnya dibicarakan sejak awal dan dilindungi sedemikian rupa khan? Caranya adalah dengan memberi informasi, layanan kesehatan, konseling, dll, yang bisa menyelamatkan anak sampai kawin, kasarnya “sampai keperawanannya diambil suaminya.”
Tetapi kita membiarkan anak perempuan kita berjuang sendirian sejak kecil, ini khan kejam sekali,” ujar Lies Marcoes-Natsir.
Isu Perkawinan Anak Dililit Faktor Hukum, Agama & Kebudayaan
Selain faktor hukum, Lies Marcoes-Natsir – aktivis perempuan yang juga peneliti jender dan Islam – juga menyoroti faktor agama dan involusi kebudayaan yang ikut menyelimuti isu perkawinan anak.
Bagaimana pembangunan di daerah justru “memiskinkan” warga, dalam arti membuat warga kehilangan kepemilikan atas tanah mereka; yang digunakan untuk industri pertambangan, perkebunan kelapa sawit maupun pariwisata.
Warga yang kehilangan kepemilikan tanah dan akhirnya dililit kemiskinan terpaksa menggunakan satu-satunya sumber daya yang mereka punya, yaitu kekuatan fisik. Mereka memilih merantau dengan menjadi tenaga kerja di luar daerah atau di luar negeri, meninggalkan keluarga di kampung.
Sementara tokoh-tokoh adat dan masyarakat yang kehilangan peran sosial terkait kepemilikan tanah itu jadi memainkan peran politik pada bidang lain, misalnya soal-soal moral seperti kawin anak.
Aktivis Pesimis Dampak Positif Resolusi, Tapi Dinilai Tetap Perlu
Lalu apakah resolusi Dewan HAM PBB ini akan memberi dampak signifikan pada Indonesia? Para aktivis yang diwawancarai VOA pesimis akan hal ini, tetapi menilai resolusi ini tetap perlu untuk mengingatkan pemerintah akan kondisi darurat yang ada di Indonesia.
“Tentu saja tidak! Jangankan resolusi yang sifatnya resolusi. Hasil konvensi yang sudah diadopsi seperti CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) saja masih gagal menghadapi praktek diskriminasi terhadap perempuan dan perkawinan anak pun masih luar biasa.
Perkawinan anak adalah salah satu bentuk pelanggaran terhadap CEDAW. Tetapi dalam konteks berdemokrasi di Indonesia dan percaturan dunia ini penting agar pemerintah Indonesia melihat bahwa ada persoalan darurat yang sampai membuat kita meminta PBB ikut turun tangan.
Menurut saya kekuatan moralnya disitu. Jadi kita seperti meminjam tangan PBB untuk menjawil negara karena kita sendiri sudah lelah melakukan riset dan advokasi, serta memaparkannya pada negara. Resolusi PBB itu datanya sangat jelas, saya baca di laporan VOA, jelas disebutkan satu dari lima perempuan Indonesia berusia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.
Pada laporan penelitian terbaru kami jumlahnya lebih besar lagi yaitu satu dari empat perempuan lho atau berarti 25%! Di daerah2 tertentu dimana migrasi perempuan, datanya lebih tinggi lagi. Di Madura hingga 32%, di Mamuju-Sulawesi Barat bahkan sampai 30%. Dengan data tidak cukup, dengan advokasi tidak cukup, maka resolusi ini bisa – maaf harus mengatakan hal ini – mempermalukan negara.’’ [em/jm]