Pemerintah Thailand menawarkan beras pada sekitar 30 persen di bawah biaya pasar ekspor untuk dapat membayar petani dan mempertahankan dukungan mereka.
BANGKOK/SINGAPURA —
Pemerintah Thailand yang sedang dilanda kemelut menawarkan menjual beras dengan harga rendah, menurut para pejabat, untuk mendongkrak dukungan terhadap Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dari para petani yang khawatir pemerintah kehabisan uang untuk membayar mereka.
Pemerintah -- yang menghadapi kampanye untuk menggulingkan Yingluck dengan mengadukan kelompok loyalis kerajaan, pemerintah Bangkok dan pendukungnya di daerah pedesaan -- menawarkan beras pada sekitar 30 persen di bawah biaya pasar ekspor untuk terus mendanai skema intervensi beras, menurut seorang pejabat Thailand dan seorang pejabat Filipina.
Tawaran-tawaran itu berlanjut sampai Yingluck membubarkan parlemen bulan lalu untuk menghadapi kampanye melawan pemerintahnya.
Pemerintahan sementaranya kurang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan besar, termasuk ekspor persediaan beras negara, dan harus bergantung pada penjualan-penjualan domestik untuk membayar tagihan yang menggunung kepada para petani di daerah-daerah basis pendukung Yingluck.
Pemerintah tidak memberikan angka harga beras tersebut, tapi para pedagang memperkirakan harga akan di bawah pasar internasional.
"Kita perlu menyesuaikan diri untuk dapat menjual beras pada harga yang sesuai supaya mendapat likuiditas untuk menjalankan skema pembelian beras," ujar Surasak Riangkrul, direktur jenderal Departemen Perdagangan LUar Negeri, yang mengawasi penjualan persediaan beras pemerintah.
Ia menolak membuka harga sebenarnya yang ditawarkan Thailand namun pejabat lain di departemen perdagangan komoditas mengatakan Bangkok mengutip US$475 per ton dalam perjanjian perdagangan antar pemerintah dengan Manila bulan lalu untuk memasok 500.000 ton.
Harga ini hampir sepertiga lebih rendah dari biaya perkiraan $669 per ton yang pemerintah sediakan untuk membeli beras dari para petani, penggilingan dan penyimpanan. Pada saat itu, harga beras di pasar dunia sekitar $400-$420 per ton.
Seorang juru bicara Otoritas Pangan Nasional (NFA) di Filipina mengatakan Thailand mengurangi harga penawaran sampai $462 per ton karena mencoba melampaui Vietnam, yang menjual $462,25, menyoroti keputusasaan pemerintah di Bangkok.
Subsidi tersebut, yang menghabiskan anggaran pemerintah miliaran dolar, telah memicu krisis politik yang dimainkan di jalanan Bangkok.
Para pengunjuk rasa ingin menggulingkan pemerintah, yang naik ke kekuasaan pada 2011 dengan dukungan pemilih di pedesaan, banyak diantaranya petani beras yang menyambut baik skema intervensi yang dermawan. Penduduk kota marah karena pajak mereka digunakan untuk membayar subsidi.
Namun ratusan petani yang beberapa diantaranya belum dibayar sejak Oktober, juga telah bergabung dalam unjuk rasa melawan Yingluck, akibat ketidakmampuan pemerintah untuk mendanai program kontroversial tersebut.
Para petani yang belum dibayar oleh negara untuk beras yang dibeli lewat skema tersebut mengancam memblokir jalanan di 26 provinsi bulan lalu.
Thailand memiliki persediaan beras yang masif, diperkirakan antara 15 dan 17 juta ton. (Reuters)
Pemerintah -- yang menghadapi kampanye untuk menggulingkan Yingluck dengan mengadukan kelompok loyalis kerajaan, pemerintah Bangkok dan pendukungnya di daerah pedesaan -- menawarkan beras pada sekitar 30 persen di bawah biaya pasar ekspor untuk terus mendanai skema intervensi beras, menurut seorang pejabat Thailand dan seorang pejabat Filipina.
Tawaran-tawaran itu berlanjut sampai Yingluck membubarkan parlemen bulan lalu untuk menghadapi kampanye melawan pemerintahnya.
Pemerintahan sementaranya kurang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan-keputusan besar, termasuk ekspor persediaan beras negara, dan harus bergantung pada penjualan-penjualan domestik untuk membayar tagihan yang menggunung kepada para petani di daerah-daerah basis pendukung Yingluck.
Pemerintah tidak memberikan angka harga beras tersebut, tapi para pedagang memperkirakan harga akan di bawah pasar internasional.
"Kita perlu menyesuaikan diri untuk dapat menjual beras pada harga yang sesuai supaya mendapat likuiditas untuk menjalankan skema pembelian beras," ujar Surasak Riangkrul, direktur jenderal Departemen Perdagangan LUar Negeri, yang mengawasi penjualan persediaan beras pemerintah.
Ia menolak membuka harga sebenarnya yang ditawarkan Thailand namun pejabat lain di departemen perdagangan komoditas mengatakan Bangkok mengutip US$475 per ton dalam perjanjian perdagangan antar pemerintah dengan Manila bulan lalu untuk memasok 500.000 ton.
Harga ini hampir sepertiga lebih rendah dari biaya perkiraan $669 per ton yang pemerintah sediakan untuk membeli beras dari para petani, penggilingan dan penyimpanan. Pada saat itu, harga beras di pasar dunia sekitar $400-$420 per ton.
Seorang juru bicara Otoritas Pangan Nasional (NFA) di Filipina mengatakan Thailand mengurangi harga penawaran sampai $462 per ton karena mencoba melampaui Vietnam, yang menjual $462,25, menyoroti keputusasaan pemerintah di Bangkok.
Subsidi tersebut, yang menghabiskan anggaran pemerintah miliaran dolar, telah memicu krisis politik yang dimainkan di jalanan Bangkok.
Para pengunjuk rasa ingin menggulingkan pemerintah, yang naik ke kekuasaan pada 2011 dengan dukungan pemilih di pedesaan, banyak diantaranya petani beras yang menyambut baik skema intervensi yang dermawan. Penduduk kota marah karena pajak mereka digunakan untuk membayar subsidi.
Namun ratusan petani yang beberapa diantaranya belum dibayar sejak Oktober, juga telah bergabung dalam unjuk rasa melawan Yingluck, akibat ketidakmampuan pemerintah untuk mendanai program kontroversial tersebut.
Para petani yang belum dibayar oleh negara untuk beras yang dibeli lewat skema tersebut mengancam memblokir jalanan di 26 provinsi bulan lalu.
Thailand memiliki persediaan beras yang masif, diperkirakan antara 15 dan 17 juta ton. (Reuters)