Ketidakstabilan di Timur Tengah Meningkat, Turki Ingin Akhiri Konflik dengan PKK Kurdi

Presiden Turki Tayyip Erdogan (kiri) dan Devlet Bahceli, pemimpin Partai Gerakan Nasionalis (MHP), menghadiri acara Hari Republik untuk memperingati ulang tahun republik ke-101, di Ankara, Turki, 29 Oktober 2024. (Murat Kula/Kantor Pers Kepresidenan/Handout via REUTERS)

Ketidakstabilan kawasan yang semakin meningkat dan perubahan dinamika politik mendorong tercetusnya upaya pertama dalam 10 tahun terakhir untuk mengakhiri konflik Turki dengan militan Kurdi yang telah berlangsung selama 40 tahun, meski kans keberhasilannya masih belum dapat dipastikan.

Beberapa politisi dan pengamat mengatakan kepada Reuters bahwa proposal perdamaian yang diajukan sekutu dekat Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah memicu harapan sekaligus ketidakpastian mengenai pendekatan yang akan diambil Erdogan untuk mengeksekusinya.

Sulitnya memulai kembali perundingan damai, setelah upaya terakhir dilakukan yang Turki dan Partai Pekerja Kurdistan (Kurdistan Workers Party/PKK) pada 2013-2015, semakin terasa usai PKK mengaku bertanggung jawab atas serangan penembakan di Ankara pekan lalu, yang menewaskan lima orang.

Akan tetapi, perdamaian akan membawa banyak keuntungan bagi Turki, di antaranya meringankan beban pasukan keamanan, meningkatkan perekonomian Turki tenggara yang kurang berkembang dan ditinggali sebagian besar warga Kurdi, serta menurunkan ketegangan sosial.

BACA JUGA: Erdogan: Serangan Berdarah di Ankara Semakin Perkuat Tekad Lawan Terorisme

Banyak warga Kurdi yang berharap kesepakatan damai dapat membawa reformasi demokrasi dan meningkatkan hak berbahasa dan berbudaya Kurdi, langkah yang kemungkinan akan disanjung sekutu Barat Turki di NATO.

Pejabat Turki masih enggan mengomentari kemungkinan rencana kesepakatan damai itu. Akan tetapi, meluasnya konflik Timur Tengah dan ketidaknyamanan Turki akan kehadiran militan Kurdi di Irak utara dan Suriah dianggap sebagai faktor-faktor yang memengaruhi perhitungan Ankara.

“Salah satu alasan paling penting adalah dinamika kawasan, karena ketidakstabilan Timur Tengah menyebabkan kenaikan biaya bagi Turki untuk isu Kurdi,” kata Vahap Coskun, dosen hukum Universitas Dicle, Diyarbakir.

Pemimpin artai Gerakan Nasionalis (Nationalist Movement Party/MHP), Devlet Bahceli.

Pekan lalu, pemimpin Partai Gerakan Nasionalis (Nationalist Movement Party/MHP), Devlet Bahceli, mengatakan bahwa Pemimpin PKK Abdullah Ocalan, yang ditahan di sebuah penjara pulau di dekat Istanbul sejak ditangkap 25 tahun lalu, datang ke parlemen. Dia menyatakan berakhirnya konflik dan mengakui kekalahan PKK sebagai imbalan atas kemungkinan pembebasannya.

Beberapa anggota parlemen dari aliansi pemerintahan Turki, yang berbicara di belakang layar karena sensitivitas masalah tersebut, mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa pernyataan Bahceli mengejutkan semua orang dan pembicaraan mengenai proses tersebut terlalu dini.

Satu-satunya langkah nyata yang telah diambil adalah Ankara mengizinkan keponakan laki-laki Ocalan untuk mengunjungi pamannya, yang merupakan kunjungan keluarga pertama baginya dalam 4,5 tahun. Ia kemudian mengutip pernyataan pamannya bahwa dirinya memiliki wewenang untuk mengakhiri konflik “jika persyaratannya tepat.”

Erdogan pada hari Rabu (30/10) menyebut usul yang disampaikan Bahceli sebagai sebuah “kesempatan bersejarah” dan mendesak Kurdi untuk menerima uluran tangan tersebut. Akan tetapi, ia juga mengatakan bahwa ia tidak menelepon “para baron teroris penghisap darah itu,” yang merujuk pada PKK. [rd/em]