Permintaan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghentikan sementara pemeriksaan calon kepala daerah sebagai saksi maupun tersangka dalam tahap penyelidikan bahkan penyidikan menuai kontroversi. Wiranto menilai proses hukum tersebut dapat berdampak negatif pada proses pilkada.
Ketua KPK Agus Rahardjo kepada wartawan, Rabu (14/3), mengimbau pemerintah mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (perppu) agar calon kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi bisa diganti daripada meminta lembaganya untuk menunda penetapan tersangka.
Dalam Undang-undang Pilkada dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dinyatakan bahwapartai politik atau gabungan partai politik yang telah mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu tidak dapat menarik bakal calonnya sejak pendaftaran. Selain itu, partai yang telah mendukung salah satu calon tidak dapat mengajukan bakal calon pengganti.
Baca: Korupsi Pemilihan Kepala Daerah dan Kerusakan Sistem
Agus memastikan lembaganya akan tetap memproses hukum tersangka kasus korupsi tanpa terkecuali. Agus bahkan mengungkapkan bahwa komisi antirasuah yang dipimpinnya sudah menetapkan satu lagi kepala daerah sebagai tersangka dan akan diumumkan pada pekan ini.
Penyelidikan terhadap yang bersangkutan sudah berlangsung lama dan sudah diekspos di KPK untuk dijadikan tersangka, kata Agus menjelaskan.
“Dan kenapa kita belum umumkan, karena ada proses pembuatan sprindik untuk kemudian diumumkan. Yang satu tadi malam sudah saya tandatangani. Oleh karena itu, menurut saya supaya partai tidak dirugikan ada baiknya presiden bisa mengeluarkan semacam perppu. Jadi, bagi calon yang disangkakan, partai bisa mengganti supaya rakyat juga dapat calon yang terbaik,” kata Agus.
Sikap KPK tersebut berbeda dengan sikap Kejaksaan Agung dan kepolisian. Kedua institusi tersebut sepakat untuk menunda proses hukum pada calon kepala daerah hingga tahapan pilkada selesai. Ini dilakukan agar pilkada serentak yang akan dilakukan dapat berjalan kondusif. Jaksa Agung M. Prasetyo juga meminta agar sikap lembaganya dan kepolisian itu tidak dijadikan polemik.
“Kalau Kejaksaan dan Polri, selama proses berlangsungnya tahapan pilkada itu untuk sementara tidak akan menangani kasus berkaitan dengan pasangan calon itu. Jadi, kita tidak perlu berbicara panjang lebar mengenai itu, nanti justru akan menimbulkan permasalahan baru yang tentunya akan mengganggu proses penyelenggaraan proses demokrasi,” kata Prasetyo
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan menilai pernyataan Wiranto tersebut berlawanan dengan upaya menjadikan proses demokrasi (pilkada) sebagai mekanisme menciptakan pemerintahan bersih, karena sebenarnya pilkada menjadi ajang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin mereka untuk 5 tahun yang akan datang.
Ade mengatakan, pernyataan Wiranto itu bisa dinilai sebagai upaya secara tidak langsung untuk mengintervensi proses hukum. KPK, tambahnya, dapat mengabaikan permintaan itu.
Baca: Golkar Gandeng KPK untuk Wujudkan Kepala Daerah Bebas Korupsi
Sementara itu Ketua DPR Bambang Soesatyo bisa mengerti alasan pemerintah mengeluarkan pernyataan tersebut. Dia menilai pernyataan Wiranto sebagai upaya menstabilkan kondisi keamanan dalam proses pilkada serentak pada 27 Juni mendatang.
“Ya sah-sah saja kalau kemudian pemerintah berharap agar tindakan hukum terhadap kepala daerah yang sudah disinyalir melakukan tindak pidana itu ditunda,” ujar Bambang
Setelah menjadi polemik, Menkopolhukam Wiranto kembali mengatakan bahwa pernyataannya tersebut hanya sebuah imbauan.
Setidaknya KPK telah menetapkan lima calon kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT). Mereka adalahcalon bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, calon gubernur Nusa Tenggara Timur Marianus Sae, calon bupati Subang Imas Aryumningsih, serta calon gubernur Lampung Mustafa dan calon gubernur Sulawesi Utara Asrun.
Your browser doesn’t support HTML5