Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo kembali menepis wacana amandemen Undang-Undang 1945 demi menambah masa jabatan presiden. Ia menegaskan memperpanjang masa jabatan presiden tidak akan menghasilkan banyak manfaat bagi Indonesia.
Sekelompok pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) memunculkan wacana untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Wacana ini langsung menimbulkan polemik di tengah masyarakat karena konstitusi saat ini hanya mengizinkan presiden menjabat maksimal selama dua periode.
"Saya jawab sekarang lebih banyak mana antara manfaat dan mudaratnya (untuk masa jabatan presiden tiga periode?). Lebih banyak mudaratnya. Sehingga sampai hari ini belum pernah ada satu catatan pun di MPR (mengenai pembahasan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode)," kata Bambang dalam sebuah diskusi pada Senin (13/9).
Dia menegaskan sejak pertama kali ia menjabat Ketua MPR, belum ada pembahasan mengenai masa jabatan tiga periode atau perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi. Bambang menekankan masa jabatan presiden maksimal dua periode sudah tepat.
Menanggapi bantahan dari Ketua MPR Bambang Soesatyo tersebut, mantan Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengaku merasa lega.
Meski begitu, Busyro, yang juga mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengajak semua pihak untuk terus mengawasi. Tujuannya agar jangan sampai amandemen konstitusi menghasilkan aturan tentang perpanjangan masa jabatan presiden atau penambahan jabatan presiden maksimal menjadi tiga periode.
"Kiranya jauh lebih beretika jika Pemilu 2024 dipersiapkan sebagai praktik demokrasi milik rakyat, bukan menjadi dominasi minoritas eksklusif dari elite dinasti politik dan nepotisme keluarga dan koalisi parpol yang hanya akan mengulang derita rakyat," ujar Busyro.
Busyro menegaskan sudah menjadi kewajiban partai politik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR untuk melindungi hak mutlak rakyat dalam memperoleh hawa sejuk, damai, aman, adil dan sejahtera lahir batin melalui pembaruan tatanan politik yang berbasis moral konstitusional.
Sementara itu, mantan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan ada pihak-pihak lain yang ingin memanfaatkan momentum proses amandemen untuk memasukkan kepentingannya masing masing.
"Kelompok yang mendorong presiden tiga periode, atau perpanjangan masa jabatan presiden, menunda pemilu dari 2024 ke 2027, itu akan menangkap momentum amandemen sebagai kesempatan untuk memperjuangkan dan mengadvokasi apa yang menjadi kepentingan politik atau kelompok mereka dengan segala motifnya, apakah ekonomi dan akses terhadap sumber daya alam," tutur Titi.
Karena itu, Titi memperingatkan semua pihak, terutama MPR, agar berhati-hati ketika membicarakan tentang amandemen UUD 1945.
Sejalan dengan Bambang, ia menambahkan masa jabatan presiden tiga periode tidak cocok untuk Indonesia. Hal ini sudah dibuktikan di masa Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin dan di Orde Baru.
BACA JUGA: Jokowi Tetap Tolak Masa Jabatan Presiden Tiga PeriodeBanyak pihak menganggap pembicaraan mengenai amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada situasi saat ini di mana negara sedang berupaya menanggulangi dampak pandemi COVID-19 tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.
Titi lalu menekankan terbatasnya keterlibatan publik dalam pembicaraan mengenai wacana amandemen tersebut hanya akan menimbulkan kontroversi lanjutan di kemudian hari.
Your browser doesn’t support HTML5
Bambang menambahkan pembahasan selama ini lebih banyak terkait dengan upaya bagaimana menghadirkan kembali Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) ke dalam konstitusi, seperti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Menurut Bambang, Badan Pengkajian MPR telah membahas masalah PPHN ini sejak dua periode lalu. Pada 18 Januari, Badan Pengkajian MPR telah menyampaikan hasil kajiannya yang merekomendasikan bentuk hukum dari PPHN, yakni melalui ketetapan MPR masuk dalam pasal-pasal dari UUD 1945 atau cukup dalam bentuk undang-undang saja.[fw/rs]