Cakra Arganata masih ingat pengalamannya mencatatkan perkawinan ke Dukcapil. Setelah menikah pada April 2018, dia bolak-balik lima kali untuk mendapatkan akta perkawinan.
Cakra berasal dari organisasi penghayat Budidaya dan menikah dengan perempuan yang juga penghayat. Secara kepercayaan, pernikahan mereka sudah resmi dan tinggal diberi akta nikah.
Pernikahan penghayat sebetulnya bisa dicatatkan sejak terbitnya UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan. Namun, dalam pelaksanaannya di lapangan, masih banyak petugas yang belum paham.
BACA JUGA: Penghayat Kepercayaan Masih Sulit Revisi Kolom Agama KTPSeperti pengalaman Cakra. Di Dukcapil, dia sendiri yang menjelaskan kepada petugas bahwa perkawinan penghayat sudah diakui negara.
“Dengan membawa UU, buku-buku, UU isi-isi PP-nya kebetulan kan orangtua saya menyimpan buku dari UU 23/2006 Administrasi Kependudukan (yang kemudian berubah jadi UU 24/2013 /red),” tambahnya.
Cakra pun bolak-balik ke Dukcapil. Terakhir, dia datang bersama Ayi, pemuka penghayat yang sudah dicatat resmi Direktorat Penghayat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun proses masih berlangsung alot.
Selang beberapa hari, petugas itu memanggil Cakra karena akta nikah sudah bisa diambil. Tanpa dokumen itu, anaknya akan sulit mendapatkan akta kelahiran yang diperlukan saat mendaftar sekolah.
Penghayat Keluhkan Sosialisasi Belum Merata
Berdasarkan pengalamannya dan beberapa penghayat lain, Cakra mengatakan sosialisasi aturan itu belum merata di berbagai daerah.
“Karena itulah, sosialisasinya belum merata dan kasusnya belum pernah terjadi di Kota Cimahi. Saya mungkin jadi semacam test case-nya,” pungkasnya.
Masalah sosialisasi memang menjadi perhatian organisasi penghayat Puanhayati. Puanhayati adalah organisasi sayap Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YME Indonesia (MLKI).
Wakil Ketua Puanhayati, Tuti Ekawati mencatat, pelaksanaan pencatatan sangat bervariasi. Hal itu bergantung pemahaman petugas akan peraturan dan mengenai kelompok penghayat sendiri.
“Bagaimana mungkin ketika akan mencatatkan di catatan sipil, aparat yang berhadapan langsung dengan penghayat yang minta dicatatkan malah belum tahu apa-apa,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Belum ada data pasti mengenai jumlah penghayat yang sudah mencatatkan pernikahannya. Namun dia mengatakan hambatan administrasi terjadi di berbagai daerah.
Your browser doesn’t support HTML5
Pihaknya menyambut baik aturan pelaksana dalam PP 40/2019 yang diterbitkan oleh Presiden Jokowi. Namun Tuti menegaskan, pemerintah perlu sosialisasi lebih intensif sampai ke tingkat paling bawah. Dia berharap tidak ada lagi penghayat yang kesulitan mencatatkan perkawinannya.
“Mudah-mudahan tidak terjadi hal-hal seperti ini, khususnya mengenai pencatatan perkawinan. Dengan adanya PP 40 ini segera ditanggapi dengan baik, harusnya dilaksanakan pelayanan publik yang lebih baik,” harapnya.
Dalam satu diskusi kelompok fokus mengenai layanan administrasi penghayat April lalu, Disdukcapil Jawa Barat mendorong sosialisasi bersama penghayat dan pemerintah kepada dinas terkait, untuk menyamakan layanan di seluruh wilayah provinsi. Sementara di lapangan, Dukcapil berkomitmen memperbaiki pelayanan. [rt/ka]