Kisah yang diunggah di Facebook baru-baru ini sudah mendapatkan 11 ribu komentar dan dibagikan 10 ribu kali. Dalam postingan itu, Jeferson Goeltom, menceritakan kebaktian tutup peti bagi anggota keluarganya yang digelar di halaman masjid di Cempaka Putih, Jakarta, akhir Agustus lalu.
“Bagaimana prosesi adat dan kebaktian? Karena kami orang Kristen, itu pasti dilakukan dan pasti keluarga atau jemaat satu gereja akan hadir. Itu menjadi kendala buat kami karena rumah keluarga, ponakan kami, ada di gang yang sangat sempit sekali,” jelasnya kepada VOA.
Dari penelusuran VOA, masjid itu bernama Masjid Darusalam, Jl. Cempaka Baru IV, yang sebenarnya masuk Kemayoran, Jakarta Pusat.
Karena menyewa rumah duka memakan biaya tinggi, keluarga pun mencari alternatif lain. Di sekitar rumah saudaranya, ada masjid tersebut dengan jalan di depannya yang cukup luas.
“Jadi kami keluarga coba untuk minta izin menggunakan halaman tersebut. Gayung bersambut, diberi izin untuk menggunakan halaman itu untuk acara pertemuan keluarga dan ibadah esok harinya,” kisahnya.
Lelaki ini menceritakan, kebaktian digelar usai sholat dzuhur. Bahkan, pengurus masjid pun memundurkan jadwal pengajian. Namun yang paling membuatnya kagum adalah warga setempat turut membantu menyediakan kudapan.
“Memang mereka punya solidaritas yang tinggi sekali. Makanan dan minuman mereka siapkan untuk membantu kalau ada tamu yang ingin teh, kopi, atau makan kecil,” ujarnya.
Jefferson Kagum dengan Sikap Toleransi Pengurus Masjid
Tergugah dengan bantuan pengurus masjid, Jeferson mengunggahnya ke Facebook. Uniknya, yang pertama membagikannya adalah kawan lama Jeferson yang seorang muslim dan sudah pergi haji. Selanjutnya, satu per satu orang pun tergerak dan ikut membagikan kisah ini.
“Saya bilang silahkan, nggak apa-apa. Karena ini memang real yang saya alami bahwa kejadian itu buat saya luar biasa,” tambah Jeferson yang memiliki kakak kandung dan adik ipar seorang muslim.
BACA JUGA: Kisah Dosen Kristen Bagikan Takjil untuk Mahasiswa yang BerpuasaJeferson lahir dan menghabiskan masa kecilnya di sekitar Cempaka Putih sebelum dia pindah ke tempat lain. Dia rutin mengunjungi kawasan itu untuk mengunjungi saudaranya. Dia mengaku kagum dengan toleransi yang terus terjaga.
“Kalau ada acara yang bersamaan, satu sama lain saling mengalah. Misalnya kalau ada adzan, acara di gereja suaranya atau apapun, itu pasti dikecilkan,” kisahnya.
Lewat kisah ini, Jeferson berharap semakin banyak orang yang menjaga kerukunan antar-umat beragama.
“Sangat banyak yang berkeinginan hidup damai dan bertoleransi, seperti tahun-tahun 80-an, awal 90-an itu toleransi masih sangat luar biasa,” harapnya.
Kisah Ini Jadi Momen Perkuat Toleransi di Jakarta
Setara Institute menilai kisah ini sebagai momen untuk memperkuat toleransi di ibukota. Direktur Setara Institute Ismail Hasani menilai ini merupakan ekspresi ‘genuine’ toleransi.
“Teladan ini sangat baik dan bisa menular bagi masyarakat Jakarta khususnya,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Ismail berharap kisah ini bisa menginspirasi pemerintah DKI Jakarta. Terlebih, ujarnya, DKI Jakarta baru saja menunjuk anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) provinsi.
“Praktik ini perlu didorong dan menstimulasi pemerintah DKI Jakarta untuk meningkatkan toleransi,” harapnya.
Dalam Indeks Kota Toleran 2018, Jakarta jadi posisi 3 terburuk dari 94 daerah yang disurvei. Angka itu sedikit membaik setelah jadi kota terburuk pada 2017. Salah satu faktornya adalah banyak pelanggaran kebebasan beragama dan beribadah (KBB). [rt/em]