Kisah Keberanian Awak Kapal Korea Selatan yang Tenggelam

Para petugas penyelamat menggotong jenazah para penmupang kapal Sewol yang tenggelam di pelabuhan Jindo (20/4). (Reuters/Kim Hong-Ji)

Di tengah kemarahan publik dan pemberitaan media yang buruk, muncul kisah-kisah keberanian para awak kapal Korea Selatan dalam penyelamatan penumpang.
Saat kapal feri tenggelam, beberapa awak kapal memberikan jaket penyelamat mereka pada penumpang. Seorang awak perempuan menolak pergi sampai ia mengawal para pelajar keluar dari kapal, dan kemudian ditemukan tewas. Yang lainnya bekerja dari kapal penyelamat untuk memecahkan jendela dengan palu dan menarik orang-orang yang terjebak dari kabin untuk diselamatkan.

Hampir seminggu setelah tenggelamnya kapal feri Korea Selatan tersebut, dengan kemarahan yang terus meningkat akibat tingginya korban jiwa yang bisa melebihi 300 orang, penilaian publik terhadap awak kapal Sewol begitu cepat dan keras. Mereka dinilai "pengecut", dan Presiden Park Geun-hye sendiri mengecam kapten dan beberapa awak "tak termaafkan, seperti pembunuh."

Beberapa awak meninggalkan feri, termasuk kapten, tapi tidak semua. Sedikitnya tujuh dari 29 awak kapal hilang atau tewas, dan beberapa yang masih hidup tinggal di atau dekat kapal untuk menolong penumpang.

Lebih dari 100 orang dikukuhkan meninggal dan hampir 200 lebih masih hilang. Para kerabat, dan banyak warga Korea Selatan lainnya, murka dan menghujat apa yang mereka anggap operasi penyelamatan yang gagal dan terutama pada sang kapten. Ia dan dua awak telah ditangkap dengan tuduhan teledor dan mengabaikan orang-orang yang memerlukan pertolongan. Enam kru lainnya telah ditahan, dua lagi pada Selasa (22/4), meski jaksa belum memberikan surat penahanan terhadap mereka.

Kapten Lee Joon-seok memberitahu penumpang agar tetap tinggal di kabin saat feri miring dan terisi air, kemudian perlu sedikitnya setengah jam untuk memerintahkan evakuasi dan ternyata kabur dengan salah satu sekoci penyelamat.

Namun para penumpang mengenang momen-momen keberanian yang tenang dari para awak.

Koo Bon-hee, 36, mengatakan tidak ada cukup jaket penyelamat untuk setiap orang di lantai tiga tempat ia dan yang lainnya menunggu. Jadi para awak, dua laki-laki dan dua perempuan, tidak memakainya agar diberikan pada penumpang.

Salah satu jenazah yang ditemukan pertama kali setelah kapal tenggelam adalah Park Ji-young, 22, awak perempuan yang menurut para saksi memberitahu para pelajar bahwa setiap awak harus tinggal di kapal sampai semua penumpang pergi.

Tenggelamnya Kapal Ferry Korea Selatan


Para awak lain menggambarkan dilema antara menyelamatkan diri atau menyelamatkan orang lain terlebih dahulu.

Oh Yong-seok, teknisi berusia 57 tahun, mengatakan ia dan empat awak lain bekerja dari kapal lain untuk memecahkan jendela kapal yang tenggelam, menarik enam penumpang yang terjebak di kabin.

Oh mengatakan bahwa seorang mualim pertama, yang sekarang ditahan, menggunakan pengetahuannya mengenai tata letak kapal untuk membantu mengarahkan para penyelamat menarik para penumpang menuju kapal penyelamat. Ia mengatakan ia dan para koleganya tetap berada di laut mencoba menolong sampai seorang penjaga pantai meminta mereka ke darat.

Oh menangis dan mengatakan bahwa hatinya hancur melihat berita penyelamatan dari rumah sakit, tempat ia dirawat karena luka kaki. Ia tersiksa melihat kematian para pelajar yang seusia anaknya.

"Kami bekerja keras, namun tidak ada media yang memberitakannya. Mereka bilang semua awak kabur," ujarnya.

Beberapa awak mengatakan mereka merasa tidak dapat membahas usaha pertolongan yang dilakukan karena publik begitu marah.

Salah satu awak yang sedang diinvestigasi telah mencoba bunuh diri namun diselamatkan.

Para awak juga sulit memahami mengapa sang kapten tidak tinggal di kapal lebih lama dan membantu operasi penyelamatan. Oh mengira kapten pergi karena terluka parah, sebab ia sempat jatuh ketika kapal mulai miring. Tapi dalam liputan televisi, sang kapten terlihat baik-baik saja.

"Seharusnya kapten tetap tinggal, meski itu berarti kematiannya," ujarnya. (AP)