Ketika perang Israel-Hamas pecah lebih dari seminggu yang lalu, satu-satunya pintu masuk menuju Gaza hancur. Akibatnya, warga Palestina yang bekerja di Israel tidak bisa pulang. Kini, ribuan pria Palestina itu terjebak di luar, sementara orang tua, adik, kakak, istri dan anak-anak mereka mencoba bertahan dari serangan bom di Gaza.
Ratusan di antaranya menghabiskan hari-hari mereka dalam keputusasaan di gedung milik pemerintah di kota Ramallah, daerah pendudukan Tepi Barat, seiring semakin banyaknya warga sipil yang tewas akibat perang tersebut.
Banyak di antara mereka lebih memilih pulang dan berisiko mati daripada mendengar penderitaan keluarga mereka melalui sambungan telepon atau pesan teks.
BACA JUGA: Ribuan Pekerja dari Gaza Diusir Paksa dari Tempat Kerja di IsraelDi antara mereka yang tidak ingin diidentifikasi atas alasan keamanan, Saleh Hassan mengaku bahwa istri dan ketiga putrinya terjebak di Gaza.
“Kami hanya orang biasa yang menjalani hidup sehari-hari. Kami tidak ada kaitannya dengan apa yang terjadi. Kami hanya mencoba membangun kehidupan dan keluarga kami. Putri saya sudah kuliah tahun kedua dan sedang belajar bahasa Inggris. Ia ingin lulus. Tapi kini mimpi kami hancur. Semuanya hancur,” ungkapnya.
Sejak perang dimulai, Israel hampir tak berhenti meluncurkan serangan bom ke Gaza, yang ditinggali sedikitnya dua juta penduduk.
Warga diminta mengevakuasi sebagian wilayah Gaza, yang membentang sepanjang 40 kilometer dengan lebar 10 kilometer, tanpa jalan keluar.
Hassan sendiri mengatakan, keluarganya enggan meninggalkan rumah mereka, sementara izin kerjanya di Israel telah dicabut setelah perang terjadi.
Banyak di antara mereka putus asa akan akhir yang bahagia dan percaya bahwa mereka tidak akan pernah melihat keluarga mereka lagi.
“Mereka bilang, ‘kami ingin tetap tinggal di rumah hingga mereka mengebom kami',” lanjut Hassan.
BACA JUGA: Jeritan Warga Gaza yang Dibombardir Israel: Asa Pupus, Tak Ada Jalan KeluarSementara itu, foto beberapa orang dari 199 atau lebih warga sipil yang diculik dan dibawa ke Gaza terpasang di luar markas Kementerian Pertahanan Israel sebagai pengingat bahwa mereka masih hilang, di antaranya ada yang masih balita dan sudah lanjut usia.
Keluarga korban penculikan dan orang hilang pun bersatu untuk menekan pemerintah Israel agar segera membawa keluarga dan kerabat mereka pulang.
Your browser doesn’t support HTML5
Einav Moshe Barda adalah keponakan salah seorang warga Israel yang diculik. “Mereka mengambil istrinya, bibi saya Adina Moshe yang usianya 70 tahun. Ia sedang sakit. Mereka membawanya keluar lewat jendela, lalu kami tidak tahu apa yang menimpanya hingga beberapa jam setelahnya. Kami tahu dari banyak orang yang memperlihatkan kepada kami sebuah video bahwa ia ada di antara dua teroris-teroris kejam yang membunuh suaminya dan membawanya dengan motor ke Jalur Gaza.”
Keluarga mengatakan selama lebih dari seminggu tidak ada perwakilan pemerintah yang menemui mereka.
Warga Israel pun mengambil tindakan sendiri. Mereka menyebut tempat mereka beraksi di Tel Aviv Expo Center sebagai “Ruang Perang Bagi Mereka yang Hilang”. Di sana, ratusan sukarelawan mencari-cari bukti yang menunjukkan nasib para sandera.
Sebelum perang pecah, banyak di antara mereka tergabung dalam kelompok Brothers in Arms, salah satu organisasi di balik aksi unjuk rasa selama sembilan bulan untuk menentang rencana pemerintah Israel untuk merombak sistem peradilan. Kini, kelompok itu mengalihkan fokus mereka untuk menemukan para sandera.
Karine Nahon adalah direktur ruang perang itu. “Warga Israel dari berbagai sektor – teknologi, interogasi, intelijen, jejaring sosial – berkumpul di sini untuk mendapatkan gambaran utuh tentang apa yang terjadi,” ujarnya.
Nahon, yang juga dosen sistem informasi di Reichman University, mengatakan bahwa dari berbagai informasi yang mereka kumpulkan, mereka meyakini bahwa lebih dari 100 sandera masih hidup. Ia kemudian mengirim informasi tersebut kepada aparat keamanan Israel.
Israel sendiri telah berjanji akan memberangus Hamas dalam perang kali ini, sementara Hamas mengaku memiliki rencana pertahanan sendiri. [rd/lt]