Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menegaskan bahwa pesawat Lion Air JT 610 jurusan Jakarta-Pangkal Pinang , dengan jenis pesawat Boeing B 737-8 (MAX) registrasi PK-LQP yang jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, 29 Oktober 2018 lalu adalah laik terbang.
Kepastian ini disampaikan untuk mengklarifikasi pemberitaan di sejumlah media yang menyatakan bahwa pesawat tersebut tidak laik terbang sejak dari Denpasar, Bali, termasuk penerbangan dari Jakarta ke Pangkal Pinang dalam laporan awal investigasi (preliminary report) yang dirilis oleh KNKT.
Dalam konferesi pers di kantor KNKT, Jakarta, Kamis (29/11) Kasubkom Penerbangan KNKT Capt. Nurcahyo Utomo mengatakan bahwa KNKT dan Kasubkom Penerbangan tidak pernah menyatakan bahwa pesawat udara Lion Air, Boeing 737-8 (MAX) registrasi PK-LQP tidak laik terbang. Kondisi laik terbang itu terlihat dari catatan perawatan pesawat milik Lion Air.
"Kami tekankan kembali bahwa dari data catatan perawatan pesawat yang tercatat di Aircraft Flight Maintance Log (AFML) , engineer telah melakukan perbaikan dan pengujian. Berdasarkan hasil pengujian, pesawat dinyatakan laik terbang. Demikian pula saat pesawat berangkat dari Jakarta, pesawat dalam kondisi laik terbang," tandas Nurcahyo.
BACA JUGA: Sebelum Rilis Laporan, KNKT Temui Keluarga Korban Lion AirNurcahyo menambahkan di dalam preliminary report tersebut tidak memuat analisa dan kesimpulan. Di dalam laporan yang diterbitkan KNKT itu hanya memuat dua rekomendasi bagi Lion Air.
Sementara itu, anggota tim keselamatan moda penerbangan KNKT Ony Soerjo Wibowo mengatakan ketentuan terkait kelaikan terbang sebuah pesawat memang cukup rumit dan sulit untuk dipahami, karenanya dibutuhkan latar belakang pengetahuan yang mendalam, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Lebih jauh Ony menjelaskan, ada beberapa ketentuan yang ditetapkan sebelum menentukan sebuah pesawat laik terbang atau tidak. Hal itu diatur dalam Civil Aviation Safety Regulations (CASR) yang menjadi panduan bagi seluruh maskapai di dunia.
Kelaikan terbang tersebut tertuang di dalam CASR 41 yang menyebutkan bahwa pesawat dikatakan laik terbang apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu telah memenuhi comply to the type side atau desainnya, dan berada dalam kondisi safe of flight. Kedua hal ini, kata Ony, yang perlu sekali dijaga detik per detiknya oleh engineer ketika di darat, dan oleh pilot ketika pesawat tersebut, telah mengudara.
"Pada saat di angkasa, pada saat pintu pesawat telah di tutup, maka tanggung jawab ini berada di tangan penerbang. Adapun apabila terjadi sesuatu di angkasa, apakah itu terjadi malfunction, electrical failure atau apapun yang menyebabkan pesawat mengalami gangguan semuanya telah ada dalam prosedur pesawat yang disebut dengan checklist. Dalam checklist inilah pilot memutuskan apakah harus kembali ke bandara terdekat atau bandara asal atau meneruskan tujuannya, semuanya telah ada prosedurnya, keputusan ada di tangan penerbang," ujar Ony.
Ony pun menegaskan sekali lagi bahwa secara prinsip pesawat Boeing 737-8 (MAX) Registrasi PK-LQP adalah laik terbang, dengan bukti engineer yang telah menandatangani AFML yang menyatakan pesawat tersebut laik terbang sejak dari Denpasar, Bali.
Investigasi Lanjutan, KNKT dan Kementerian Perhubungan Terbang ke AS
Lebih jauh, Nurcahyo menjelaskan bahwa untuk melakukan investigasi lanjutan, Sabtu, 1 Desember 2018 nanti KNKT dan Kementerian Perhubungan akan berangkat ke markas Boeing sebagai pabrik pembuat pesawat di Seattle, Amerika Serikat untuk melakukan reka ulang kecelakaan pesawat Lion Air yang menewaskan seluruh awak pesawat dan penumpang itu.
Simulasi kecelakaan tersebut dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari Flight Data Recorder (FDR) pesawat Lion Air JT 610.
"Mencoba me-recreate kecelakaan ini berdasarkan data FDR. Hanya saja tidak bisa dilakukan di simulator tempat pilot training, adanya di engineering simulator di Seattle. Kita akan mencoba itu. Kemudian apa sih yang dilihat pilot, yang terjadi di ruang cokpit, sehingga melihat situasi seperti ini dia akan bagaimana," imbuh Nurcahyo.
Your browser doesn’t support HTML5
Dia menambahkan, simulasi itu tidak bisa mengetahui pembicaraan antara pilot dan co-pilot sesaat sebelum kecelakaan terjadi, karena hal itu terekam dalam Cockpit Voice Recorder (CVR) yang saat ini belum ditemukan. [gi/em]