Direktur Rujak Centre for Urban Studies, Elisa Sutanudjaja mengatakan betonisasi dan pembuatan tanggul sungai Ciliwung yang dilakukan pemerintah akan mempercepat aliran air ke Teluk Jakarta. Hal tersebut akan berakibat pada penambahan beban di muara kanal-kanal Jakarta seperti Banjir Kanal Barat dan memperparah banjir di Jakarta Barat. Selain itu, wilayah yang sudah dinormalisasi seperti Kampung Pulo dan Bukit Duri juga masih terendam banjir.
Kondisi tersebut diperparah dengan permukaan tanah di Jakarta yang 90 persen tertutup beton dan hanya tiga persen ruang terbuka biru (tangkapan air) yang ada di ibu kota. Karena itu, Elisa mengusulkan pemerintah provinsi DKI Jakarta menegakkan aturan tentang kewajiban sumur resapan dan ruang terbuka hijau terutama bagi pengembang.
"DKI sebenarnya sudah punya dua pergub (peraturan gubernur, red) yaitu pergub sumur resapan dan pergub bangunan hijau. Ini bukan berarti bahwa harus diresapkan semua. Dalam konsep bangunan hijau ada namanya zero run off, itu artinya dalam satu lahan, pemilik lahan atau pengelola lahan, dia harus bertanggung jawab atas air permukaannya. Jangan sampai air permukaan dibuang semua ke drainase, tapi harus ditahan atau diresapkan selama mungkin," jelas Elisa Sutanudjaja saat menggelar konferensi pers di LBH Jakarta, Senin (6/1).
Untuk memaksimalkan penerapan sumur resapan, Elisa menambahkan pemerintah DKI Jakarta juga bisa mengenakan biaya ke pemilik gedung yang mengeluarkan air dalam jumlah banyak ke saluran air. Praktik ini, katanya, diberlakukan di Jerman dan negara bagian California.
Sementara Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyoroti tingkat curah hujan yang semakin tinggi dari masa ke masa dan intervalnya yang semakin pendek. Ini seperti hujan ekstrem yang terjadi di Jakarta dan Bekasi pada Rabu (1/1) lalu yang biasanya dalam rentang puluhan tahun kini terjadi dalam waktu 2-3 tahun. Guru Besar Hidrologi UGM Joko Sujono memperkirakan ada 180 juta meter kubik air yang menghantam Jakarta pada awal tahun lalu.
"Kalau kita lihat sejarah curah hujan di Jakarta itu normal per hari adalah 20 milimeter. Curah hujan 377 milimiter hampir 20 kalinya. Kalaupun dia membesar itu mungkin 20-50 milimeter," jelas Leonard Simanjuntak.
Curah hujan 377 milimeter per hari yang disebut Simanjuntak, merupakan curah hujan tertinggi pada awal tahun lalu di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur berdasar laporan BMKG. Curah hujan tinggi juga terjadi di TMII 335,2 mm, Jatiasih 259,6 mm dan sejumlah tempat dengan rata-rata 200 mm per hari.
Menurut Simanjuntak, pemerintah Indonesia perlu mengambil peran dalam penurunan emisi global untuk mengatasi krisis iklim di Indonesia dan dunia dengan menghentikan penggundulan hutan dan beralih ke energi terbarukan. Termasuk kata dia, melibatkan kembali negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan China, Rusia, dan Australia.
Korban Tewas Akibat Banjir Menjadi 67 Orang
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah korban banjir di Jabodetabek dan sekitarnya menjadi 67 orang per 6 Januari 2020. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Agus Wibowo melalui keterangan tertulis, banjir masih terjadi di sejumlah wilayah Jabodetabek. Jumlah pengungsi mengalami peningkatan dari 900an orang menjadi 36 ribuan orang meskipun genangan air semakin surut.
BACA JUGA: Banjir di Jakarta, Banten: 60 Tewas, Ribuan Mengungsi"Genangan air masih ada di beberapa wilayah, yaitu Kabupaten Bekasi 20-30 cm, Kota Bekasi 20-60 cm, Kabupaten Bogor 20-30 cm dan Jakarta Barat 20-150 cm," jelas Agus dalam rilis, Senin (6/1).
BNPB mengimbau masyarakat untuk waspada dengan potensi curah hujan tinggi hingga sepekan ke depan. BNPB juga meminta pemerintah daerah dan BPBD agar aktif dalam menginformasikan peringatan dini cuaca terkini dari BMKG kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan. [sm/ab]