Koalisi Pimpinan AS Akhiri Operasi Kontraterorisme di Irak

Sabrina Singh, wakil juru bicara Departemen Pertahanan AS

Koalisi global untuk melawan kelompok teroris ISIS telah mengakhiri misi militernya di Irak. Pejabat AS mengatakan sebuah rencana dua tahap tidak akan menghalangi operasi kontra-ISIS di tempat lain di kawasan tersebut tetapi tidak memberikan rincian tentang jumlah pasukan AS di negara itu.

Sepuluh tahun lalu, kelompok Negara Islam atau ISIS menimbulkan kehancuran di Irak dan Suriah.

Amerika Serikat dan koalisi negara-negara bergabung dengan mitra-mitra mereka di Irak dan Suriah untuk mengalahkan teroris yang telah menguasai hampir sepertiga dari kedua negara tersebut.

Setelah ISIS dikalahkan, sekitar 2.500 tentara Amerika tetap tinggal di kawasan itu untuk melatih warga Irak dan melakukan operasi bersama kontra-teror.

Sabrina Singh, wakil juru bicara Departemen Pertahanan AS, mengatakan, “Misi itu berubah dari Koalisi Global menjadi kemitraan keamanan bilateral dengan pemerintah Irak.”

Sabrina Singh mengatakan kepada para wartawan pada hari Jumat (27/9) bahwa pengumuman tersebut tidak sama dengan penarikan pasukan Amerika.

Namun, wakil juru bicara Pentagon itu tidak menjelaskan berapa banyak jumlah pasukan yang akan tetap tinggal dan di mana mereka akan ditempatkan.

“Amerika Serikat tidak akan menarik diri dari Irak. Tidak, saya tidak bisa memberikan informasi tentang jumlah dan posisi pasukan AS itu nantinya. Saya pikir saya bisa mengatakan bahwa jejak kita akan berubah di dalam negeri itu,” tambah Sabrina.

BACA JUGA: Serangan Gabungan Amerika dan Irak Tewaskan 15 Anggota ISIS di Irak Barat

Tahap pertama perjanjian akan segera dimulai, dengan pasukan koalisi menyelesaikan upaya mereka di Irak paling lambat satu tahun dari sekarang.

Tahap kedua memungkinkan sisa pasukan untuk tetap berada di Irak setidaknya selama satu tahun untuk mendukung upaya kontraterorisme di negara tetangga, Suriah.

Menteri Pertahanan Irak mengatakan kesepakatan itu akan membuat sebagian besar pasukan AS di Irak meninggalkan negara itu dalam dua tahun ke depan. Namun, Perdana Menteri Irak telah membuka kemungkinan bahwa kolaborasi militer dapat terus berlanjut, sementara para analis khawatir bahwa kelompok teror itu akan bangkit kembali.

Kekhawatiran demikian di antaranya disampaikan oleh Charles Lister, direktur program Suriah dan Penanggulangan Terorisme dan Ekstremisme di Middle East Institute, sebuah lembaga pemikir non-partisan di Washington, D.C. Dia berbicara dengan VOA melalui tautan Zoom.

“Peringatan dari kami yang telah mengikuti ini dengan seksama adalah bahwa kebangkitan (kelompok ISIS) di gurun tengah ini pada akhirnya akan meluas ke seberang Sungai Efrat. Limpahan ke seberang sungai itu sekarang menjadi kenyataan yang sangat nyata, dan dapat diprediksi bahwa fase ebangkitan kembali berikutnya akan meluas ke Irak,” kata Lister.

Sementara itu, militer Amerika pada hari Minggu (29/9) mengatakan 37 militan terkait kelompok ekstremis ISIS dan Al Qaeda tewas dalam dua serangan udara di Suriah. Dua di antara korban tewas adalah pemimpin senior kelompok itu.

US Central Command mengatakan serangan udara itu menghantam Suriah barat laut pada hari Selasa (24/9), menarget seorang militan senior dari kelompok Hurras al-Deen yang terkait dengan al-Qaeda dan delapan orang lainnya. Mereka mengatakan Al Deen bertanggung jawab mengawasi operasi militer kelompok itu.

US Central Command pada 16 September lalu juga mengumumkan telah melakukan “serangan udara berskala besar” terhadap sebuah kamp pelatihan ISIS di sebuah lokasi terpencil yang dirahasiakan di Suriah tengah pada awal bulan ini. Serangan tersebut menewaskan 28 militan, termasuk “sedikitnya empat pemimpin Suriah.”

“Serangan udara ini akan menghentikan kemampuan ISIS untuk melakukan operasi-operasi melawan kepentingan AS, serta sekutu-sekutu dan mitra-mitra kami,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

Ada sekitar 900 pasukan AS di Suriah, bersama dengan sejumlah kontraktor yang tidak disebutkan jumlahnya, yang sebagian besar berusaha mencegah kebangkitan kelompok ekstremis ISIS, yang menguasai sebagian besar Irak dan Suriah pada tahun 2014.

Pasukan AS menjadi penasihat dan membantu sekutu utama, Pasukan Demokratik Suriah yang dipimpin Kurdi, di Suriah timur laut, yang terletak tidak jauh dari wilayah strategis di mana kelompok-kelompok militan yang didukung Iran berada, termasuk penyeberangan perbatasan utama dengan Irak.

AS mengatakan kini ada sekitar 2.500 anggota ISIS di Irak dan Suriah, dan kelompok itu berencana untuk meningkatkan jumlah serangan menjadi dua kali lipat dari total yang diklaimnya pada tahun 2023. [lt/em/ab]