Komisi Kesehatan DPR Pertanyakan Vaksin Berbayar ke Menkes

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat bersama Komisi IX DPR secara daring pada Selasa, 13 Juli 2021. (Foto: VOA)

Sejumlah anggota Komisi IX DPR mempertanyakan kebijakan pemerintah soal vaksin berbayar kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Komisi IX DPR menggelar Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin secara daring pada Selasa (13/7). Sejumlah anggota DPR mempertanyakan kebijakan pemerintah tentang vaksin berbayar (gotong royong).

Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati meminta menteri kesehatan meninjau ulang kembali kebijakan vaksin berbayar. Ia beralasan kebijakan ini bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa vaksin gratis untuk semua warga. Ia juga tidak meyakini program vaksin berbayar ini dapat mendorong percepatan program vaksinasi nasional​.

Your browser doesn’t support HTML5

Komisi Kesehatan DPR Pertanyakan Vaksin Berbayar ke Menkes

"Saya juga melihat begitu Kimia Farma menyebut akan ada vaksin berbayar. Kita amati di bursa saham langsung naik pesat. Jangan Sampai di situasi pandemi ada yang terselubung," tutur Kurniasih Mufidayati, Selasa (13/7/2021).

Kurniawati juga khawatir kebijakan vaksin berbayar ini akan memecah konsentrasi penanganan vaksin gratis untuk warga. Sebab,menurutnya,ia masih mendapat laporan kurangnya pasokan vaksin gratis dan tenaga kesehatan di sejumlah daerah.

Ilustrasi vaksinasi. (Foto: Kemenkes)

Pernyataan senada disampaikan anggota Komisi IX DPR Arzeti Bilbina. Ia juga tidak setuju pemerintah mengeluarkan kebijakan vaksin berbayar. Menurutnya, kebijakan ini tidak etis karena seperti membiarkan masyarakat berjuang sendiri dalam mengatasi pandemi corona. Arzeti juga melihat ada konflik kepentingan karena pemerintah memberikan kewenangan ini kepada BUMN.

"Masyarakat pasti akan mendahulukan yang berbayar karena pasti akan diprioritaskan dibanding yang gratis. Jangan sampai ini membuat kegaduhan di masyarakat," jelas Arzeti.

Dalam rapat, sejumlah anggota Komisi IX DPR juga mempertanyakan potensi penyalahgunaan vaksin Sinopharm yang akan dijual dengan vaksin Sinopharm yang berasal dari hibah Raja Uni Emirat Arab (UAE) dari Presiden Jokowi.

Botol kosong vaksin Sinopharm dalam kampanye vaksinasi COVID-19 bagi nakes di rumah sakit umum di Lima, Peru, 10 Februari 2021.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan vaksin Sinopharm yang berasal dari hibah akan diberikan kepada kelompok difabel. Menurutnya, vaksin hibah belum didistribusikan lembaganya karena masih menunggu izin presiden. Ia menegaskan akan melakukan pendataan distribusi vaksin hibah ini agar tidak diselewengkan untuk vaksin berbayar. Namun, ia mengakui kesulitan untuk memantau distribusi vaksin hibah ini hingga rantai distribusi akhir.

"Tapi kalau misalnya pemberian kita kasih ke provinsi turun ke Dinkes Kabupaten Kota dan Puskesmas. Tiba-tiba terjadi di Puskesmas, saya jujur akan sulit mengontrolnya," jawab Budi Gunadi ke Komisi IX DPR.

Budi Gunadi menambahkan vaksin berbayar dari perusahaan dan individu bertujuan untuk mempercepat program vaksinasi nasional. Namun, ia juga tidak mengetahui besaran persentase dari kedua vaksin berbayar ini terhadap target vaksinasi nasional.

BACA JUGA: Kimia Farma Tunda Pelaksanaan Vaksinasi Berbayar COVID-19

Budi Gunadi juga tidak sependapat dengan usulan agar pemerintah membeli vaksin berbayar tersebut dari BUMN. Alasannya harga vaksin berbayar lebih mahal jika dibandingkan dengan membeli langsung ke produsen melalui kerjasama negara (G to G).

"Justru ide awalnya yang beli swasta supaya mereka dapat akses bagus dan mereka jual. Kalau yang beli pemerintah kita lebih murah dari harga itu," tambahnya.

Berdasarkan data pemerintah, jumlah orang yang telah disuntik vaksin corona tahap pertama sebanyak 36.368.191 orang dan tahap dua sebanyak 15.036.468 orang per Selasa (13/7). Adapun target pemerintah sebanyak 180 juta orang untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity). [sm/ab]