Komisi Yudisial Bentuk Tim Untuk Periksa Hakim Sarpin Rizaldi

  • Munarsih Sahana

Ketua KY Suparman Marzuki, didampingi sosiolog Arie Sujito (tidak terlihat) dan Busyro Muqodas (kanan) di kantor Institute for Research And Empowerment (IRE), Yogyakarta, Kamis, 19 Februari 2015 (Foto: VOA/Munarsih).

Tim Komisi Yudisial (KY) berjanji akan memeriksa kasus Hakim Sarpin Rizaldi yang telah memenangkan permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan, dalam waktu kurang dari satu bulan.

Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengatakan di Yogyakarta Kamis siang (19/2), KY telah membentuk sebuah tim untuk memeriksa Hakim Sarpin Rizaldi yang telah memenangkan permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan. Ia mengatakan hal itu selesai berbicara pada diskusi tentang “Jokowi Dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi” di kantor Institute for Research And Empowerment (IRE).

Jika ada indikasi atau potensi pelanggaran telah dilakukan oleh Hakim Sarpin Rizaldi, maka yang bersangkutan akan diundang oleh Tim Panel untuk dilakukan pemeriksaan.

Marzuki berjanji, Tim KY tersebut akan mampu menyelesaikan tugasnya dalam waktu kurang dari satu bulan. Ia menambahkan, yang menjadi perhatian KY adalah agar jangan sampai putusan Hakim Sarpin menimbulkan keruwetan hukum.

"Coba bayangkan, akibat putusan Hakim Sarpin kini telah terjadi keruwetan hukum. Orang berpikir untuk kasasi atau PK (Peninjauan Kembali). KPK perlu PK atau tidak. Kini terjadi keruwetan-keruwetan hukum dan bisa menimbulkan preseden buruk. Institusi-institusi penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian maupun KPK akan dibanjiri permohonan-permohonan serupa oleh para pelaku tindak korupsi yang telah dipersangkakan,” kata Suparman Marzuki.

Menurut Ketua KY, Hakim Sarpin diduga telah melanggar pasal 77 KUHAP yang menyebutkan praperadilan hanya berwenang memeriksa sah atau tidak penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.

Menurut Suparman Marzuki, KY hanya bisa mengusulkan bentuk sanksi terhadap hakim. Dua kasus serupa pernah terjadi, salah satunya Mahkamah Agung memberi sanksi Non-Palu, yaitu hakim dilarang terlibat persidangan selama satu tahun.

"KY itu tidak bisa minta (putusan hakim) dibatalkan. Tetapi kita mengusulkan sanksi kepada hakimnya, karena KY tidak punya wewenang untuk membatalkan putusan. Sanksi tergantung dari hasil pemeriksaan, saya berharap sebelum satu bulan selesai karena itu bisa cepat, berdasarkan dokumen saja bisa cukup,” imbuhnya.

Untuk memberantas korupsi di Indonesia, peneliti senior IRE yang juga sosiolog UGM, Arie Sujito berharap agar Presiden Jokowi lebih tegas menunjukkan komitmennya dengan menghentikan siapapun yang berusaha mengkriminalisasi KPK.

“Jokowi harus menunjukkan komitmen menghentikan tindakan kriminalisasi terhadap KPK. Dengan dia mau bersikap begitu, nanti reputasi dia akan naik lagi. Tapi kalau sekarang ini ia menerbitkan Kepres dan itu ditafsirkan bahwa Abraham Samad dan BW (Bambang Widjojanto) bermasalah yang seolah tidak ada dampak sistemik kepada KPK. Padahal itu ada dampak kesana sehingga perlu menghentikan itu,” jelas Arie Sujito.

Sementara itu, mantan wakil ketua KPK Busyo Muqodas menilai, keputusan presiden terkait pimpinan sementara KPK membantu efektivitas kerja KPK meskipun sifatnya sementara.

"Jangka pendek aja ya, KPK pasti akan jalan terus. Keputusan presiden ini kan lewat Perpu nanti, itu menolong secara politis administratif itu menolong. Lha sekarang tinggal 2 (pimpinan) kalau tidak ada Kepres ini ya lumpuh KPK,” kata Busyo Muqodas.

Busyro Muqodas maupun Ketua KY Suparman Marzuki sepakat, untuk menuju system ketata-negaraan yang sehat DPR RI tidak perlu melakukan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap para calon pimpinan lembaga penegakan hukum. DPR cukup melakukan hearing kemudian memberikan persetujuan.