Presiden Joko Widodo telah mengumumkan bahwa pemerintah mengakui sekaligus menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lalu. Pengumuman penting ini disampaikan ketika menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).
Sebanyak 12 kasus pelanggaran HAM berat tersebut adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari (Lampung) 1989, Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002, Peristiwa Wamena, Papua 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Pengakuan pemerintah atas 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu menjadi sorotan dalam rapat kerja antara Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di kompleks parlemen di Jakarta, Rabu (18/1).
Anggota Komisi hukum yang membidangi persoalan hukum, Jacki Uly meminta Komnas HAM tidak berhenti pada rekomendasi 12 peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah diakui oleh Presiden Joko Widodo.
"Mohon ditindaklanjuti, apa yang mesti dilaksanakan. Saya minta supaya Komnas HAM proaktif untuk mengikuti apa tindak lanjut yang dikatakan oleh Presiden itu. Karena untuk mengatakan kita mengakui terjadi pelanggaran HAM berat, itu melalui proses yang cukup panjang," kata Jacki.
Jacki mencontohkan kasus 1965/1966 di mana pemerintah membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengakui telah terjadi pelanggaran HAM waktu itu.
Jacki kembali memberi contoh soal kasus Timor-Timur. Pemerintah menindaklanjuti dengan membiayai sekolah anak-anak Timor-Timur. Jepang pun banyak menyekolahkan mahasiswa Indonesia setelah mereka mengakui banyak melakukan pelangaran HAM ketika menjajah Indonesia.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Arteria Dahlan mengharapkan Komnas HAM memusatkan perhatian pada penyelesaian non-yudisial atau kemanusiaan terhadap 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diakui oleh Presiden Joko Widodo, bukan mencari para pelakunya.
"Ini yang diutamakan. Ngapain kejar pelaku? Korbannya diselamatkan dulu. Nanti kalau sudah ada buktinya, bisa dikejar (para pelakunya)," tutur Arteria.
Arteria meminta satuan tugas yang akan dibentuk oleh pemerintah untuk penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut melibatkan Komnas HAM secara langsung dan aktif.
Pendapat serupa juga disampaikan Habiburokhman, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya. Dia setuju penyelesaian non-yudisial merupakan solusi yang paling mungkin untuk dilakukan sekarang ini terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam rapat tersebut, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menjelaskan sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan pengakuan terhadap 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, lembaganya telah memberi masukan kepada tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM), Jokowi, serta Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengenai beberapa prinsip yang perlu diperhatikan pemerintah dalam merealisasikan temuan-temuan PPHAM tersebut.
Komnas HAM menyambut baik pengakuan pemerintah atas 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang disampaikan oleh Presiden Jokowi. "Pengakuan tersebut memperlihatkan adanya komitmen pemerintah sebagai pemangku kewajiban dalam pemulihan hak korban seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kami juga mendukung perlunya dilakukan upaya-upaya untuk menjamin agar peristiwa-peristiwa serupa tidak terulang," kata Atnike.
Upaya itu, menurut Atnike, dapat dilakukan melalui perubahan hukum, perbaikan hukum, dan pendidikan publik atau membangun kesadaran masyarakat untuk menghindari kekerasan.
Terkait korban pelanggaran HAM berat masa lalu, Komnas HAM menilai itu harus melibatkan para pemangku kepentingan dari kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian, termasuk Komnas HAM, Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) serta Lembaga Perlindungan aksi dan Korban (LPSK).
Komnas HAM merekomendasikan agar bantuan kepada korban bukan sekadar belas kasih tetapi pemulihan dan harus mampu mengangkat martabat korban.
Terkait konflik di Papua, Atnike menambahkan strategi lembaganya dalam upaya penyelesaian konflik di Papua. Komnas HAM terus memantau situasi-situasi yang diduga pelanggaran HAM.
Your browser doesn’t support HTML5
Dia mengakui para pelaku dalam kasus-kasus kekerasan di Papua bukan hanya aparat keamanan pemerintah tetapi juga kelompok kriminal bersenjata. rosedur hukum terhadap para pelakunya tidak boleh dibedakan, imbuhnya.
Terkait masalah pengungsi akibat konflik bersenjata di Papua, lanjut Atnike, Komnas HAM tidak dapat bekerja sendiri. Mereka membutuhkan dukungan pemerintah, TNI, dan Polri. Dia meminta aparat keamanan memberi jaminan keselamatan bagi para pengungsi untuk kembali ke tempat tinggal mereka.
Komnas HAM mengakui peran tokoh agama dan tokoh adat dalam memberi informasi dan rasa aman kepada masyarakat. [fw/ka]